1.25.2009

MENGAJARKAN MINTA MAAF


Minta maaf atau menyesal terlalu rumit dilakukan anak-anak, karena menurut Grady, MC, NCC., pakar konseling anak, di usia batita anak sedang berada pada fase egosentris dan belum mampu melihat permasalahan dari sudut pandang orang lain. Baginya selama sesuatu tidak membuatnya kecewa, tidak mengusik barang-barang yang sedang digunakannya, berarti tidak ada masalah. Jadi kalaupun ia menumpahkan sirop ke baju tamu mamanya, merusakkan mainan, membuat adiknya menangis, itu bukan masalah.

PEMBIASAAN DULU
Tentu saja hal ini tak bisa dibiarkan begitu saja, anak tetap harus diajarkan minta maaf, "Terlepas dari mengerti atau tidak, anak tetap harus dibiasakan untuk minta maaf saat melakukan kesalahan. Yang penting pembiasaannya dulu, seiring dengan bertambahnya usia, ia akan mengerti konsep maaf," kata Anna Surti Ariani, Psi., yang berpraktik di beberapa tempat konseling psikologi di Jakarta.
Pembiasaan ini penting agar anak kelak memperoleh manfaatnya, antara lain:
* Mengeluarkan diri dari rasa bersalah
Pada prinsipnya minta maaf adalah cara seseorang mengeluarkan diri dari rasa bersalah. Dengan meminta maaf diharapkan seseorang menyadari kesalahan dan muncul tekad untuk tidak mengulanginya lagi. Meski konsep ini masih sulit dipahami batita, tapi seiring dengan bertambahnya usia ia akan mengerti.
* Melepas ketegangan
Bagaimanapun suasana menjadi tidak nyaman saat ada seseorang melakukan kesalahan. Umpamanya, Nouval yang menumpahkan sirop ke baju tamu, sejenak pasti muncul ketegangan, si tamu terpekik kaget, sang mama sibuk mengambil tisu dan tergopoh-gopoh minta maaf. Meski mungkin belum mengerti tapi anak tetap bisa merasakan ketegangan suasana. Nah, dengan minta maaf, segalanya bisa cair kembali. Anak pun akan mengamati, mamanya yang tadi cemberut setelah mendengar ia mengucapkan, "maaf," bisa tersenyum kembali.
* Memperbaiki hubungan dengan orang yang tersakiti
Dengan minta maaf anak mempunyai "pintu" untuk memperbaiki hubungannya dengan orang yang tersakiti. Contoh, ia tak sengaja merusak mainan temannya, setelah minta maaf sang teman mau bermain lagi dengannya.


4 LANGKAH SEDERHANA
Untuk mudahnya, berikut 5 langkah sederhana cara membiasakan batita minta maaf:
1. Contoh langsung
Contohkan bagaimana seharusnya kata maaf diucapkan. Misal, orangtua tak sengaja menumpahkan susu anak, katakan, "Maaf ya, Sayang, Mama tidak sengaja menumpahkan susumu." Begitu juga dengan kesalahan lain yang dilakukan. Dengan demikian diharapkan anak terbiasa melihat orang-orang terdekatnya mengucapkan maaf manakala melakukan kesalahan.
2. Tunjukkan penyesalan dengan bahasa tubuh
Lakukan kontak mata saat mengucapkan kata maaf, sehingga anak bisa merasakan penyesalan yang mengiringi permintaan maaf itu. Menggenggam tangan, memeluk erat, atau mencium juga akan dicontoh anak saat orangtua minta maaf dengan bahasa tubuh seperti itu. Namun sebagai catatan, tegaskan padanya bahwa pelukan dan ciuman penyesalan hanya boleh diberikan pada papa/mama/kakak/adik, sedangkan untuk teman/saudara/orang lain cukup dengan bersalaman. Bahasa tubuh juga efektif untuk batita yang komunikasi verbalnya belum lancar sehingga belum bisa mengucapkan kata maaf.
3. Dorong supaya bertanggung jawab
Selain mengucapkan maaf, minta anak untuk "bertanggung jawab" atas kesalahan yang dilakukannya. Umpama, ia menyenggol temannya sampai jatuh. Nah setelah minta maaf, jika temannya terluka, minta si kecil menyodorkan tisu/plester. Ini sebagai bagian dari pembelajaran tentang tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan.
4. Berikan apresiasi

HAL-HAL PENTING

Setelah anak mengucapkan kata maaf, berikan apresiasi dalam bentuk pujian, seperti, "Wah, pintar, kamu sudah bisa minta maaf." Hal tersebut sekaligus sebagai penguatan bahwa yang dilakukannya sudah benar dan perlu diulanginya lagi di lain kesempatan.
Selain cara, orangtua juga harus mengajarkan kapan kata maaf itu diucapkan, yakni saat menyusahkan orang lain, mencelakai orang lain, melanggar janji, melakukan hal-hal yang sudah dilarang, melakukan hal-hal yang tidak disukai orang lain, dan sebagainya. Dengan begitu, yang ditekankan adalah pesan untuk tidak mengulangi kesalahan, bukan semata-mata minta maaf tanpa mengerti alasannya.
Apa jadinya kalau anak yang bersalah tidak dibiasakan meminta maaf?

  • Anak tidak disukai dalam pergaulannya karena tidak biasa minta maaf setelah melakukan kesalahan. Ini akan berakibat pada perkembangan sosialnya. Apalagi kalau sikap masa bodoh ini terbawa sampai usia dewasa.
  • Perkembangan emosinya tidak optimal karena dengan tidak mengakui kesalahan, ia tidak bisa menilai dirinya secara pas.

Selengkapnya..

1.17.2009

Peniruan Verbal Pada Anak


Meniru sudah terjadi sejak anak mulai menyadari berbagai rangsang di sekitarnya. Peniruan merupakan salah satu cara anak belajar tentang diri dan lingkungannya. Paling sederhana, saat anak belajar berbahasa atau bicara. Tanpa peniruan atau modeling, anak tidak akan mampu mengembangkan kemampuannya sesuai dengan tuntutan lingkungan. Masalahnya, yang ditiru si kecil tidaklah selalu positif. Yang jelek-jelek juga ditiru dan kerap menjadi favoritnya; sudah dilarang, eh masih dilakukan lagi.
Peniruan Verbal
Peniruan verbal sebetulnya merupakan dasar bagi batita untuk belajar berbahasa. Dasar perkembangan kemampuan berbahasa anak sudah ada saat usia 1-3 bulan (kala bayi membunyikan cooing berupa "oooo" atau "uuuuhhh"). Mendekati usia 2 tahun, kemampuan berbahasanya meningkat menjadi 2-3 kata, seperti "sayang mama", "mau mamam", "minta susu", "yuk sini yuk," dan sebagainya. Nah, menjelang 3 tahun, perbendaharaan katanya semakin banyak. Anak pun mampu merangkai 3-4 kata sekaligus menjadi kalimat. Misal, "Adek mau main bola."
Kemajuan pesat inilah yang membuat si batita tertantang untuk menjajal kemampuan tersebut, termasuk dengan "membeo" yang merupakan hal alami dan bermanfaat. Kemampuannya untuk mengekspresikan sesuatu pun bisa lebih terlatih, sehingga kosakata anak semakin bertambah.
Daya tangkap si batita yang semakin solid dan terus berkembang menjadikan anak lebih gampang menangkap kata-kata yang didengar dalam kesehariannya. Kata-kata "baru" itu pun lantas ditirunya. Tidak melakukan peniruan verbal justru merupakan indikator bahwa anak belum bisa mengeluarkan bunyi yang sesuai dengan tahap perkembangannya. Orangtua harus waspada.

VERBAL NEGATIF
Jika suatu saat si batita menirukan kata-kata berkonotasi negatif atau kasar, itu karena ia sekadar menirukan saja. Ia belum memiliki kemampuan membedakan kata yang dianggap baik dan buruk karena ia pun belum paham kalau apa yang diucapkannya adalah sesuatu yang buruk. Ini berkaitan dengan kemampuan berpikirnya yang masih terbatas. Meski begitu, peniruan verbal yang negatif harus segera dihentikan sebab kalau tidak lingkungan akan memberi sanksi dengan menganggapnya sebagai anak yang tidak sopan.
Sumber peniruan kata-kata kasar atau jorok terutama adalah lingkungan sekitar, seperti acara televisi, teman (karena anak mulai belajar bersosialisasi dengan teman sebayanya), bahkan orang di rumah. Dalam interaksi tersebut tak jarang anak memungut kata-kata baru, termasuk kata-kata yang kasar dan kotor. Nah, kalau itu yang terjadi pada si kecil, ada beberapa kiat untuk mengatasinya:
* Menjadi mentor bagi anak untuk memberi tahu kata mana yang tepat dan tidak. Penjelasan yang konsisten akan membuat anak memahami apa yang boleh dan tidak boleh. Doronglah anak untuk meniru kata-kata atau kalimat yang baik dan santun, seperti "permisi", "selamat siang", "terima kasih," dan sebagainya.
* Beri konsekuensi. Pada dasarnya, setiap meniru secara verbal merupakan perilaku. Prinsipnya, apa pun perilaku yang ditampilkan anak akan selalu diiringi konsekuensi. Jadi, orangtua harus memberi pujian dan penghargaan pada anak, jangan mengabaikan anak bila ia memamerkan kemampuannya mengucapkan kata-kata yang baik. Sehingga membuatnya terbiasa mengucapkan kata-kata yang indah, seperti "I love you Mama" atau "terima kasih."
* Orangtua harus menjadi model bagi anak dengan rajin mengucapkan kata-kata indah di depan anak, suami, bahkan pembantu. Jangan lupa, orangtua tetaplah guru terbaik bagi anak-anaknya. Perhatikan perilaku Anda sendiri sebelum memantau perilaku anak.
* Tanyakan pada anak apa maksud kata-kata kasar atau tak senonoh yang diucapkannya. Buktikan bahwa ia hanya membeo tanpa tahu maknanya. Misalnya saja, si kecil membuat kejutan dengan berteriak, "Bangsat!" Tanyakan dari mana ia mendapatkan kata tersebut.
* Menghentikan ujaran negatif bukan dengan menghukum, memarahi, atau menegur keras anak. Cara seperti itu hanya akan mendorongnya mengulangi kata-kata buruk karena anak malah merasa diperhatikan lebih.
* Koreksi ucapan anak, dengan mencontohkan pilihan kata yang baik. Umpama, "Dasar bangsat" diganti dengan "Dia nakal, sudah ambil mainanku," yang lebih enak didengar.
* Bila di lain waktu ia mengulang lagi kalimat tersebut, abaikan saja seolah ia tidak sedang bicara apa pun. Maklum anak senang mencoba-coba untuk melihat reaksi orangtua. Anak sudah mampu memanipulasi orang lain sejak usianya 2 tahun. Pastikan Anda sedang tidak dimanipulasi si kecil dengan kata-katanya.
* Jika ditegur berulang kali tak mempan, terapkan hukuman yang sifatnya mendidik seperti tidak boleh main sepeda, tidak nonton teve, dan lainnya.
* Lakukan seleksi terhadap tayangan audio visual bagi anak dan dampingi saat ia menyaksikannya. Mintalah anak mengungkapkan apa yang dilihatnya dengan terlebih dahulu menjelaskan apa yang disaksikannya di layar.
* Bila ia mengucapkan kata-kata yang tak baik alihkan perhatiannya dengan kegiatan lain yang disukainya, seperti bermain bola di taman.
* Cari kata pengganti yang baik.
Peniruan Perilaku
Tidak ada perilaku anak yang merupakan bawaan sejak lahir. Semuanya terbentuk dari lingkungan. Batasan perilaku positif atau negatif ditentukan oleh standar norma yang berlaku. Pastikan perilaku yang ditampilkan anak sesuai dengan lingkungan keluarga dan tempat tinggal.
Meniru membuat anak belajar banyak tentang lingkungan, yang dampaknya memengaruhi perkembangan kecerdasannya. Perilaku yang kerap ditampilkan anak akan menjadi kebiasaan baginya. Kebiasaan akan menjadi bagian dari karakter anak. Untuk itu bila ingin memiliki anak dengan karakter yang dapat diterima, ciptakan lingkungan yang tepat dan mendidik bagi anak.
Kalau ada perilaku negatif yang muncul, seperti bicara kasar, memukul, menjambak, atau menendang, hentikan dengan memberi pemahaman dan konsekuensi yang tepat. Sangat mungkin sebelumnya anak pernah melihat contoh nyata dalam lingkup keluarga atau teman sebayanya yang memukul teman lain kala berebut mainan. Atau ia pernah menyaksikan adegan pemukulan di televisi. Jangan lupa, anak akan meniru apa yang dilihatnya.
Jika orangtua membiarkan anak bersikap agresif dikhawatirkan citra dirinya akan negatif, contoh ia bisa dianggap nakal kemudian dijauhi teman-teman. Perilaku ini juga akan membuat sifat agresivitasnya bakal menetap. Bukan tidak mungkin anak pun akan mudah melakukan tindak agresif kelak saat dewasa.
MENGATASI PERILAKU NEGATIF
Pada dasarnya, perilaku baik atau buruk akan bertahan, bila lingkungan memberi konsekuensi yang menyenangkan pada anak. Sebaliknya, perilaku akan hilang bila tidak diperkuat dengan konsekuensi yang diharapkan oleh anak. Berikut beberapa hal yang dapat orangtua lakukan untuk mengatasi peniruan perilaku negatif:
Jelaskan dengan lemah lembut, bahwa apa yang dilakukannya tidak baik. Beri penjelasan tanpa memarahi atau mempermalukannya.
1. Alihkan perhatiannya. Biasanya di usia ini emosi anak bisa dengan segera dialihkan perhatiannya. Bila ia meniru perilaku memukul alihkan pada permainan lain. Tentunya butuh kreativitas orangtua untuk memilihkan apa yang bisa menarik perhatian anak.
2. Beri contoh yang baik. Jika berharap anak tidak meniru perilaku negatif semisal memukul maka orangtua pun harus memberi contoh yang baik. Caranya dengan menihilkan tindak agresif yang hanya akan menjadi ajang peniruan anak. Jika misalnya ia menunjukkan rasa sayang atau gemas, caranya bukan dengan perilaku agresif seperti menggigit-gigit, melainkan dengan mencium, memeluk dan lainnya.
3. Beri penghargaan. Bila anak melakukan perilaku yang positif, dapat menahan sikap negatifnya, berilah penghargaan dengan memuji, membelai atau memberi ciuman. Dengan begitu anak akan lebih termotivasi untuk bersikap manis.
4. Komunikasikan setiap aturan kepada anak. Misalnya, anak boleh bermain tapi tak boleh menggigit atau memukul.
5. Ajari anak untuk menyatakan perasaannya. Hal ini akan dapat meminimalkan anak dari perilaku peniruan agresif.
Dra. Roslina Verauli, M.Psi., dari Empati Development Centre, Jakarta.

Selengkapnya..

1.11.2009

Penanaman disiplin memang harus konsisten


Saya termasuk orang yang tertib dalam memberlakukan kebiasaan pada anak. Setiap pulang dari bepergian atau habis main dari luar, anak harus cuci kaki, tangan, dan muka, lalu ganti baju. Makan dan minum pun harus menggunakan piring dan gelas khusus milik mereka sendiri. Saya berharap dapat menanamkan disiplin dan kebiasaan yang baik sejak anak masih kecil.
Masalahnya, tanpa saya sadari, rutinitas tersebut ternyata malah membuat anak saya jadi enggak fleksibel. Suatu pagi, pernah saya membantu si kecil melepaskan pakaiannya sebelum mandi. Karena terburu-buru, saya lupa kalau selama ini dia terbiasa melepaskan celananya duluan baru kemudian bajunya. Nah, pagi itu, terbalik, bajunya dulu yang saya lepaskan. Jadilah dia marah-marah dan minta dipakaikan bajunya kembali. Saya sudah jelaskan, enggak apa-apa buka baju dulu baru celana, tapi dia tetap protes dan malah ngamuk. Apa boleh buat, saya terpaksa memakaikan bajunya kembali dan kemudian melepaskannya sesuai "prosedur".
Soal keramas dan mandi pun kami pernah ribut. Ia terbiasa keramas dulu baru pakai sabun. Kalau ritualnya dibalik, dia takkan mau. Pokoknya, jadi merepotkan deh! Saya sama sekali enggak nyangka kalau rutinitas yang saya tanamkan itu akhirnya malah jadi bumerang buat saya.
BERBAGAI ALASAN
Masalah ini lantas saya curahkan kepada seorang psikolog anak. Namanya, Yelia Dini Puspita, M.Psi., dari Lembaga Psikologi Terapan UI. Ternyata, menurutnya, bukan anak saya saja yang punya perilaku seperti itu. Alasannya, sebagian anak usia prasekolah mulai menguasai berbagai aktivitas tertentu yang terbentuk melalui proses pembiasaan. Sikap kaku terhadap suatu kebiasaan wajar terjadi sampai usia sekitar 4 tahun. "Kebiasaan atau ritual yang kaku itu umumnya berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, seperti ritual makan, berpakaian, dan mandi. Namun juga bisa meluas pada kebiasaan bermain maupun mengatur benda-benda miliknya," kata Yelia.
"Mungkin karena saya terlalu tertib ya, Mbak, dalam menerapkan rutinitas itu?" tanya saya.
"Memang, penerapan disiplin dari orangtua yang bersifat kaku, bisa menjadi penyebabnya. Segala rutinitas harus dilakukan dengan prosedur tertentu, baik dalam waktu maupun cara pelaksanaannya. Hal tersebut membentuk kebiasaan yang kuat pada anak dan diadopsi olehnya sehingga menimbulkan tingkah laku ritual yang kaku pula. Tanpa disadari, anak sudah telanjur nyaman dengan tata cara yang berulang, bersifat rutin, dan dapat diprediksi. Perhatian khusus perlu diberikan jika selewat usia 4 tahun, anak masih sangat kaku pada tata cara tertentu dalam beraktivitas. Kalau dibiarkan, ia dapat berkembang menjadi pribadi yang tidak fleksibel dalam menghadapi berbagai hal," jawab Yelia.
"Ada sebab lainnya lagi tidak?" tanya saya kembali.
"Biasanya hal ini juga berkaitan dengan karakter anak. Anak-anak yang mengarah pada karakter perfeksionis, umumnya melakukan segala sesuatu sesuai dengan prosedur atau ritual dan tahapan yang relatif sama agar mendapatkan hasil yang ‘sempurna’ baginya, sehingga akhirnya terbentuklah tingkah laku ritual yang kaku pada anak."
"Mungkin enggak karena anak ingin cari perhatian ayah bundanya?"
"Mungkin sekali, karena anak sangat menikmati perhatian dari orangtuanya. Kalau yang ini mudah sekali terlihat karena terjadinya hanya di saat-saat tertentu saja. Misal, ketika ibu atau ayahnya ada waktu untuk menemaninya mandi, bermain, dan lainnya. Sebab lainnya berkaitan dengan pola pikir yang rigid atau kaku dan adanya tindakan yang bersifat repetitif atau berulang. Umumnya dialami oleh anak dengan gangguan perkembangan, semisal autisma. Tentu saja anak seperti ini perlu penanganan khusus untuk menanggulanginya."

POSITIF-NEGATIF
Sebenarnya, kata Yelia, perilaku tersebut wajar-wajar saja, selama tidak sampai menyusahkan. "Umumnya, semakin bertambah usia anak, maka keterampilan sosialnya juga akan bertambah, sehingga kebiasaan yang kaku ini semakin lama semakin berkurang dan akan menghilang dengan sendirinya tanpa intervensi khusus. Kecuali pada anak yang memang mengalami gangguan perkembangan."
Akan tetapi, lanjut Yelia, bukan berarti orangtua tak perlu membantu. "Kebiasaan kaku ini akan berangsur berkurang hanya bila tidak mendapatkan penguatan dari lingkungan. Jika orangtua justru memperkuat kebiasaan yang kaku tersebut, entah dengan membiarkan, selalu menuruti keinginan anak, maupun tidak memberikan penjelasan pada si anak, maka kebiasaan kaku tersebut akan tampil lebih kuat."
Kerugiannya, sikap kaku yang berlebihan tanpa disertai fleksibilitas akan menyulitkan anak dalam beradaptasi dengan hal-hal baru. Hal ini juga menghambatnya dalam berinteraksi sosial dengan orang lain. Namun, bukan berarti menanamkan kebiasaan secara teratur itu salah. Buah positifnya juga ada. Antara lain, anak dapat mengembangkan disiplin dan keteraturan dalam bertindak, serta terbiasa melakukan perencanaan. Lebih jauh lagi, anak dapat melakukan antisipasi terhadap hal-hal yang mungkin akan terjadi. Karenanya, orangtua pandai-pandailah mengatur ritme penerapan aturan dan bersikap fleksibel di saat-saat darurat.
VARIASI, DONG...
"Kalau sudah telanjur, apa yang harus dilakukan, Mbak?" tanya saya segera.
"Orangtua harus peka terhadap kebutuhan dan karakter anaknya, ini yang pertama. Peka terhadap kebutuhan, antara lain dengan mengenali alasan yang menyebabkan anak melakukan tindakan tersebut. Orangtua harus berusaha untuk memahami karakter dan pola tingkah laku anak, serta proses pembiasaan yang terjadi. Kemudian berusaha berempati dan tidak memaksanya mengubah kebiasaan. Dukungan serta sikap yang konsisten lebih diperlukan anak agar merasa lebih aman, sehingga dapat membentuk rasa percaya diri dan pada akhirnya tindakan ritual tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kalau memang karakternya perfeksionis, maka anak perlu dipersiapkan dalam menghadapi segala aktivitasnya, terutama yang di luar kebiasaan. Beritahukan atau jelaskan terlebih dahulu apa yang akan terjadi atau dilakukan oleh si anak di luar dari kebiasaannya itu," kata Yelia.
Sebetulnya, anak-anak yang memang mudah menyesuaikan diri biasanya tak terlalu terganggu bila melakukan rutinitas di luar jalurnya. Dalam kondisi terburu-buru, tak masalah jika handuknya dipakai terbalik, atau jika dibantu dipakaikan sepatunya sebelah kiri dulu padahal biasanya kanan. "Anak seperti ini dapat dengan cepat mengatasinya. Bahkan, beberapa anak justru merasa senang dan tertarik menghadapi ‘hal baru’ tersebut," lanjut Yelia.
"Namun fleksibel bukan berarti berubah-ubah, lo. Fleksibel adalah kemampuan beradaptasi secara cepat terhadap perubahan yang terjadi," tambahnya segera. "Bagaimanapun, dalam menerapkan disiplin, orangtua harus tetap konsisten. Kalau tidak konsisten atau berubah-ubah justru dapat menimbulkan kebingungan dan membuat anak merasa tidak nyaman. Hanya saja dalam pembiasaan yang konsisten tersebut selipkan juga variasi ritual yang dapat orangtua berikan dalam momen-momen tertentu. Sesekali, ajaklah anak makan sambil piknik di halaman. Tapi kalau anak tidak mau, ya jangan dipaksa. Biarkan saja dia tetap melakukan ritualnya sambil diberikan penjelasan mengenai variasi ritual yang bisa ia lakukan. Selain itu, orangtua juga perlu introspeksi akan sikapnya selama ini apakah dalam penerapan disiplin bersifat kaku ataukah cukup fleksibel."
Sedangkan bila penyebabnya adalah si anak cari perhatian, menurut Yelia, kembali lagi orangtua perlu peka terhadap kebutuhan anak. Selain juga perlu ditelaah apakah cari perhatian tersebut mengarah pada kurangnya kebersamaan dengan anak, atau merupakan aksi protes anak terhadap penerapan disiplin yang dilakukan orangtua. Ada baiknya orangtua melakukan introspeksi, kemudian memperbaiki diri serta memberikan perhatian sesuai dengan kebutuhan anaknya.
Kini saya bisa bernapas lega. Setidaknya, saya jadi paham, mengapa buah hati saya sampai "sekaku" itu. Tentu saja saya juga harus berubah kalau tidak ingin si kecil kelak benar-benar menjadi pribadi yang kaku.
Dedeh Kurniasih.

Selengkapnya..

1.08.2009

EKSPRESI EMOSI KHAS BATITA


Masa batita adalah periode paling progresif. Ada saja kemajuan yang dialami si kecil setiap hari. Lihat saja, anak bisa berjalan, tumbuh beberapa gigi sekaligus, mulai bicara, tertawa terbahak-bahak, belajar makan sendiri, menolak instruksi, dan juga merajuk. Perkembangan ini meliputi fisik dan emosinya. Namun, tidak semua orangtua siap dengan perkembangan emosional batitanya sehingga sering kali merasa kewalahan.
Mengapa demikian? Karena kunci kesiapan menghadapi perkembangan emosi adalah pemahaman. Inilah yang sering tidak dimiliki orangtua. Ketahuilah, di usia batita anak berkembang ke arah kemandirian. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya mampu. Dukungan dan kesabaran dari orangtua penting untuk membantu anak mencapai tugas perkembangan tersebut. Bila yang diberikan adalah atensi negatif, seperti memarahi, menyalahkan, melarang, dan seterusnya yang berkembang adalah rasa ragu-ragu dan takut, atau sebaliknya. Nah, dengan memahami 8 ekspresi emosi khas batita berikut ini orangtua bisa memberikan respons yang tepat.

1. DEMONSTRASI KASIH SAYANG
Anak usia ini senang mengeksplorasi berbagai perasaan menyenangkan yang timbul dari kontak fisik. Coba perhatikan setiap kali orangtua membuka tangan, batita pasti akan berlari menghampiri untuk masuk dalam pelukan orangtunya. Bahkan film untuk batita, Teletubbies, menjadikan adegan ini sebagai tema sentralnya, mereka selalu berseru, "Berpelukan..." setiap kali memulai/selesai melakukan sesuatu.
Contoh sikap:
Batita senang mendapatkan pelukan, ciuman, didekap, disentuh dan sebagainya.
Respons yang tepat:
Orangtua harus menyiapkan diri menyambut ekspresi sayang yang demonstratif ini dengan memberikan respons yang tepat seperti balas menciumnya, mengungkapkan rasa cinta dengan bahasa verbal, mengucapkan terima kasih setelah dicium, dan sebagainya. Jangan ada penolakan, karena batita akan mengingatnya sebagai memori buruk. Umpamanya, anak memeluk orangtua dari belakang, tapi orangtua meresponsnya dengan penolakan, "Aduh, Naura, tangan kamu kotor," ini respons yang tidak tepat.
2. PERHATIAN SECARA PERSONAL
Batita selalu menuntut perhatian secara personal sebab di usia ini anak sedang berada dalam fase egosentris. Ia ingin semua menjadi miliknya dan hanya untuk dirinya. Sekadar mendapat perhatian sekali atau sambil lalu tentu tak cukup baginya, ia akan berusaha memastikan bahwa orangtua memberikan perhatian padanya.
Contoh sikap:
Minta perhatian saat orangtuanya menelepon sekadar untuk menunjukkan mainan yang sama berkali-kali.
Respons yang tepat:
Berikan perhatian secukupnya. Tunjukkan bahwa orangtua sudah tahu maksudnya dan sekarang sedang mengerjakan hal lain. Kalau ia ingin menunjukkan sesuatu, nanti ada waktunya lagi. "Oh, iya Sayang, bonekanya bagus ya, tapi sekarang Mama telepon dulu. Nanti selesai telepon baru kita main lagi. Sekarang Adek duduk dulu di sini di sebelah Mama."
3. MOOD GAMPANG BERUBAH
Anak batita sangat moody. Mudah baginya berganti suasana hati dalam waktu sekejap. Di usia ini anak mulai sadar bahwa dirinya adalah individu yang terpisah dari orangtuanya sehingga segala sesuatunya ingin dilakukan sendiri. Sementara di sisi lain kemampuannya masih sangat terbatas. Dua hal ini sering kali membuat suasana hantinya gampang berubah.
Contoh sikap:
Belum kering airmata karena menangis minta susu, setelah susunya diberikan, ia bisa tertawa geli.
Respons yang tepat:
Selalu bersikap tenang dan senantiasa memberikan jalan keluar atas masalah yang sedang dialaminya. Kenali tangisan anak, misalnya karena lapar dan ingin susu, segera berikan. Dengan demikian ia tak menjadi frustrasi karena keinginannya tidak terpenuhi.
4. CAPER ALIAS CARI PERHATIAN
Ini adalah salah satu ekspresi emosi yang khas dimiliki anak batita. Ia senang sekali "pamer" kemampuan. Pahadal sesuai tahapan perkembangannya, ada saja kemampuan baru yang dikuasainya hampir setiap hari. Jadilah anak terlihat senang cari perhatian alias caper.
Contoh sikap:
Ia sudah bisa makan sendiri, ia akan menunjukkan pada siapa saja yang datang ke rumah akan kebisaannya yang baru ini. Begitu juga saat bisa menggambar sesuatu, mengoperasikan mainan barunya dan sebagainya.
Respons yang tepat:
Siapkan diri untuk menjadi penonton yang baik dan jangan pelit pujian. Asah terus kemampuan anak supaya makin sempurna. Berikan contoh bagaimana melakukan segala sesuatunya dengan benar. Untuk contoh di atas, tunjukkan padanya bagaimana menggenggam sendok dengan benar lalu menyuapkannya ke mulut. Sehingga tak sekadar pujian, tapi makin lama kemampuan makannya makin baik: makin banyak yang masuk ke mulut dan makin sedikit yang berantakan.
5. SUKA MENYENGAJA
Batita suka menyengaja. Ini dilakukan semata-mata untuk melihat repons sekelilingnya. Bisa juga karena anak belum paham risiko dari perbuatannya, tapi mungkin juga anak sekadar menikmati reaksi yang ditampilkan orangtua.
Contoh sikap:
Lantai habis dipel dan masih licin, ia sudah diperingatkan untuk tidak melintasinya, tapi ia malah sengaja mondar-mandir untuk melihat reaksi orangtuanya. Makin heboh reaksi yang ditunjukkan orangtua, makin bersemangatlah ia melakukannya. Tapi mungkin juga anak belum paham kalau melintasi lantai licin risikonya bisa terpeleset dan jatuh.
Respons yang tepat:
Berikan pemahaman dengan bahasa sederhana sehingga mudah dipahami anak. Bila perlu, tunjukkan dengan contoh, semisal orangtua pura-pura jatuh dan mengaduh kesakitan. "Aduh, sakit ya jatuh terpeleset." Orangtua harus mempunyai kesabaran ekstra. Jangan heboh menghadapi kelakuan ini, sebab bisa jadi yang ditunggu anak adalah respons orangtua. Peringatkan dengan lembut namun tegas bila anak masih terus mengulanginya.
6. MELEMPAR SESUATU SAAT MARAH
Di usia ini anak belum bisa mengendalikan emosinya secara sempurna tapi kemampuan motoriknya, terutama melempar benda, sudah bisa dilakukan. Akibatnya saat marah, ia melempar benda-benda yang ada di sekitarnya. Tak hanya di waktu marah, bila ada kesempatan, anak usia ini suka melempar/menjatuh-jatuhkan benda. Hal ini terkait dengan tahapan perkembangan motoriknya. Sementara terkait dengan kemampuan verbalnya, anak belum bisa mengungkapkan apa yang membuatnya marah. Sekali-dua kali ia melempar benda saat marah dan orangtua segera memberikan perhatian, maka tiap kali ia merasakan gejolak emosi yang sama, ia mengulang tindakan tersebut sebagai ungkapan kemarahan.
Contoh sikap:
Anak ingin minum susu, sudah berulang merengek tapi belum juga dibuatkan oleh orangtua, akibatnya anak marah dengan melempar botol susunya.
Respons yang tepat:
Yang dibutuhkan anak adalah contoh bagaimana menyalurkan emosi dengan tepat. Ajarkan padanya untuk menyampaikan keinginannya. Meski kemampuan verbalnya masih terbatas, tapi orangtua bisa membantunya dengan menggunakan bahasa tubuh. Contoh, "Kalau Adek cuma merengek, Mama enggak ngerti maksudnya. Kalau Adek mau susu, berikan saja botol kosong ini ke Mama, nanti Mama buatkan lagi," sambil tunjukkan bagaimana botol kosong itu diberikan pada orangtua. Selain itu latih anak menyalurkan ekspresi emosi dengan tepat, misalnya menggambar, bernyanyi dan sebagainya.
7. KERAS KEPALA
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, di usia ini anak sedang berada pada fase egosentris. Anak maunya menang sendiri dan keras kepala. Apa yang sudah jadi keinginannya seakan tak terbantahkan. Ini adalah bagian dari perkembangan yang wajar, tiap anak pasti mengalaminya.
Contoh sikap:
Melihat orangtuanya makan sesuatu, anak memaksa meminta. Padahal sudah dijelaskan kalau yang dimakan itu pedas, misalnya, tapi tetap saja ia keras kepala. Begitu diberikan secuil, langsung dilepehnya karena pedas.
Respons yang tepat:
Sesekali biarkan anak merasakan apa yang diinginkannya selama tidak membahayakan, misalnya rasa pedas seperti contoh di atas, dingin, panas, dan sebagainya. Dengan merasakan langsung biasanya anak jadi "kapok". Selain itu latih terus kemampuannya untuk bersosialisasi, berbagi, mengantre, bergiliran dan sebagainya. Latihan-latihan ini bermanfaat untuk mereduksi keras kepalanya.
8. NARSISME
Anak batita "narsis" mengagumi diri sendiri? Jangan salah, anak usia ini selalu merasa dirinya yang paling baik, pintar, cantik/ganteng, disayang dan sebagainya sehingga ia merasa berhak atas segala sesuatu yang ada di dunia ini.
Contoh sikap:
Kalau orangtua memberikan pujian atau menunjukkan ekspresi kekaguman pada kakak/adik/anak lain, ia akan marah sebagai ungkapan rasa cemburu.
Respons yang tepat:
Berikan pujian secara wajar, umpamanya dengan tidak mengatakan, "Wah, anak Mama memang paling ganteng sedunia." Tunjukkan bahwa di luar dirinya ada juga anak lain yang berhak mendapat pujian. Contoh, "Oh, iya Adek pintar ya, makannya bisa habis. Ini Mas Rangga juga pintar karena makannya juga habis." Orangtua yang terlalu sering memuji secara berlebihan akan membuat bibit narsisme makin subur dalam diri anak, sehingga dalam jangka panjang bukan tak mungkin membuatnya kesulitan melihat/menerima kelebihan orang lain.

Selengkapnya..

1.05.2009

Mengasuh Anak Bukan Hal Sepele


BETAPA pentingnya peran orangtua dalam membesarkan dan mengasuh anak, tak diragukan lagi. Berbagai perkembangan anak, mulai fisik, kognisi, emosi, sosial, termasuk harga diri anak, rasa percaya diri dan identitas jender, sangat dipengaruhi orangtua dalam menerapkan pola asuh.

Berikut contoh masalah seorang anak gadis yang telah mendapatkan pola asuh tidak tepat dari orangtuanya.

Yth Ibu Agustine,

Saya gadis (22) yang sedang bergumul dengan permasalahan psikologis amat kompleks. Saya anak pertama dari dua bersaudara. Adik saya laki-laki, usia 20 tahun. Sejak kecil, semua keperluan saya dan adik diurus Ibu. Kehadiran Ayah hanya bersifat fisik saja. Bisa dikatakan, kami tidak pernah merasakan kasih sayang dan perhatian seorang ayah. Meski demikian, hubungan kami dengan Ibu juga tidak terlalu ”dekat”. Adakalanya kami bisa tertawa bersama, tetapi saya tidak pernah merasa nyaman berbagi semua. Beberapa tahun belakangan Ibu semakin dominan karena Ayah tidak lagi bekerja. Saya merasa Ibu demikian sayang dan memerhatikan anak-anaknya sehingga sering kali sikapnya demikian ”aneh”. Bahasa hiperbolanya, Ibu semakin memantapkan posisinya sebagai ”diktator” yang mengatur kehidupan anak-anaknya. Hal tersebut membuat saya dan adik makin hari makin tertekan. Akibatnya, kami sering melakukan hal-hal tertentu tanpa sepengetahuan Ibu. Belakangan saya sering merasa emosi saya tidak stabil. Saya bisa menjadi orang yang tegar, kuat, dominan, dan keras di satu sisi, tetapi adakalanya saya merasa demikian lemah, manja, dan mau enak sendiri. Kalau sudah begini, saya bisa menjadi pribadi kejam dan penuntut, berbohong, melakukan apa saja untuk mendapat yang saya inginkan. Saya juga kadang terdorong berbuat kekerasan (walaupun masih dalam skala kecil). Yang jelas, saya tipe orang introver. Saya jatuh cinta pertama kali pada usia 10 tahun (cinta yang juga disertai gairah seksual, bukan pula cinta monyet) kepada sahabat perempuan saya, sebut saja X. Di sisi dia, saya merasa hangat. Saya selalu ingin melindungi dan membuat dia tersenyum. Saya mencintai dia seperti lelaki mencintai perempuan. Pada usia sekarang, saya baru menyadari, mungkin salah satu hal yang membuat saya tertarik kepada X adalah karena saya merasa menemukan ”dunia baru” dalam dirinya, sesuatu yang tidak pernah saya dapat di rumah. Makin dewasa, saya makin menyadari saya tidak tertarik dengan laki-laki dan hanya tertarik kepada perempuan, baik secara fisik maupun emosional. Saya jatuh cinta kedua kalinya pada usia 20 tahun kepada Y. Dia memperlakukan saya seolah-olah saya pribadi yang butuh ”perlindungan”. Dia melindungi dan mencintai saya seperti laki-laki mencintai perempuan. Saya merasa nyaman, aman, tenang bersama Y. Berbeda dengan yang pertama, kali ini saya mencintai Y seperti perempuan mencintai laki-laki. Kedua perjalanan cinta saya kandas di tengah jalan. Saya pernah berhubungan seksual dengan Y. Masturbasi juga terkadang saya lakukan. Yang agak meresahkan, makin hari saya makin bergairah dengan fantasi bernada kekerasan. Membayangkan saya atau tokoh idola saya atau Y (bukan X) sebagai ”korban” kekerasan fisik benar-benar memicu gairah saya. Saya bingung dengan semua yang terjadi. Menurut Ibu, sebenarnya ada apa dengan diri saya? Adakah yang salah? Hal apa yang mesti saya perbuat dan bagaimana saya menghadapi permasalahan ini agar tidak membuat saya makin ”terpuruk”? Saya benar-benar ingin semua yang saya alami bisa menuntun saya pada pemikiran lebih dewasa. (J di S)

J yang baik, saya prihatin sekali dengan masalah Anda. Analisis saya memang ada yang salah dalam perkembangan kepribadian Anda.

Secara sadar maupun tidak sadar sebenarnya Anda ”marah” atas apa yang telah orangtua lakukan dalam pengasuhan mereka. Anda mengalami banyak konflik dalam hubungan perasaan dengan Ibu yang di satu sisi Anda pahami sangat menyayangi, tetapi Anda tidak terima dengan sikapnya yang otoriter dan tidak punya kompromi itu.

Anda juga sangat kecewa terhadap sikap Ayah yang tidak bisa terlibat secara lebih akrab dan memenuhi kebutuhan masa kecil Anda akan perlindungan dan kasih sayang. Disertai dengan berbagai pengalaman hidup lain, semua itu membuat kepribadian Anda berkembang menjadi seorang yang labil secara emosi dan bimbang pada berbagai prinsip/nilai kehidupan lain, termasuk pilihan orientasi seksual.

Peristiwa ”menyenangkan” dalam perjalanan cinta Anda juga harus berakhir buruk. Padahal, di situ Anda mendapatkan kenyamanan afeksi meski hanya sementara. Kemarahan Anda makin menjadi dan tampil dalam bentuk agresivitas seksual, meskipun masih sebatas imajinasi.

Menurut saya, sebagai seorang yang kemudian paham penyebab masalah sendiri, seyogianya Anda bangkit dan keluar dari berbagai persoalan yang melanda. Sebagai anak muda, gairah seksual memang sedang meningkat, misalnya. Tetapi, Anda juga dapat menyalurkan melalui aktivitas lain yang lebih produktif.

Galilah potensi diri yang belum tertampil. Saya yakin Anda gadis pintar mengingat tulisan Anda. Cobalah terus memperluas pergaulan, baik dengan pria maupun wanita. Upayakan tidak terlalu terpaku pada cara orangtua memperlakukan Anda selama ini, karena Anda pun mampu bersikap lebih dewasa dan mencari panutan dari tokoh lain. Masalah Anda memang berat, bila perlu bisa berkonsultasi kepada psikolog di kota Anda. Salam sukses.
Oleh : Agustine Dwiputri psikolog

Selengkapnya..

Menjadi Orang Tua Super © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO