2.26.2009

Belajar Mulai Dini


Tak bisa dipungkiri, di era global yang serba kompetitif ini banyak orangtua yang rela melakukan apa saja agar anaknya lebih unggul dibanding rekan-rekan sebaya, crème de la crème. Salah satu ukuran yang populer dipakai untuk menilai kehebatan anak adalah kemampuan baca-tulis. Barangkali itu sebabnya kurikulum baca-tulis yang dulu baru diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, sekarang sudah jadi pelajaran wajib di jenjang Taman Kanak-kanak (TK), bahkan Kelompok Bermain (KB).
Tetapi, apakah betul asumsi bahwa semakin dini anak belajar baca-tulis semakin cerdas kelak ia di masa depan? Atau sebaliknya, mencekoki anak dengan pelajaran formal terlalu dini justru berbahaya? Berikut ringkasan penuturan dari pakar perkembangan dan perilaku anak, dokter Susan Johnson, yang layak dicermati para orangtua.

Bagian I - Sistem Proprioseptif
Apakah anak Anda tidak bisa duduk tenang, selalu bergeliat-geliut di kursinya, melilitkan kakinya ke kaki bangku, mengetuk-ngetukkan jari di meja, dan sebagainya? Apakah anak Anda sering terbangun sepanjang tidur malamnya, mencari-cari kontak fisik dengan orangtua sebelum bisa lelap kembali? Jika ya, berarti kemungkinan besar sistem proprioseptifnya belum matang.

Sistem proprioseptif adalah kemampuan seorang anak untuk mengetahui keberadaan tubuhnya dalam ruang. Anak dengan sistem proprioseptif yang telah berkembang bisa merasakan keberadaan anggota-anggota tubuhnya tanpa harus melihat atau menggerakkan mereka. Kematangan sistem ini bisa diuji antara lain dengan melihat apakah seorang anak bisa berdiri stabil di atas satu kaki dengan mata terpejam.


Kematangan sistem proprioseptif sangat erat kaitannya dengan kemampuan untuk duduk tenang dan memusatkan perhatian. Selama tujuh tahun awal kehidupannya, otak anak masih harus memetakan lokasi otot, tendon, dan sendi-sendi di seluruh tubuh. Itu sebabnya saat disuruh duduk, ada saja bagian tubuh si anak yang bergerak-gerak supaya otak tidak kehilangan jejak keberadaannya. Sayang, di sekolah, anak yang tidak mampu duduk tenang seperti ini bisa langsung dicap sebagai penderita ADD (Attention Deficit Disorder).

Kalau sistem proprioseptif belum matang, seorang anak akan kesulitan belajar membaca dan menulis. Sebab, ia belum bisa membayangkan gerakan dari bentuk-bentuk abstrak seperti huruf dan angka. Boleh saja ia telah berlatih berpuluh-puluh kali, tapi tetap saja bingung antara huruf “b” dan “d”, atau tanpa sadar menulis angka 2 atau 3 secara terbalik. Untuk mengetes, coba saja Anda gores dengan jari huruf atau angka itu di punggung anak Anda, apakah ia bisa mengenalinya? Kalau tidak bisa, berarti sistem proprioseptifnya belum berkembang baik.

Sistem proprioseptif menjadi kuat melalui gerakan-gerakan jasmani, seperti menyapu, mendorong gerobak mainan, membawakan belanjaan, mengosongkan tong sampah, menyiangi rumput, atau bergelantungan di tangga lengkung taman bermain. Lewat kegiatan-kegiatan ini, koneksi antara benak dan reseptor di otot, tendon, dan sendi terbentuk. Saat lengan, kaki, telapak tangan, dan telapak kaki maju, mundur, naik, turun, ke kiri dan kanan, anak-anak akan mulai memperoleh kesadaran tentang ruang di sekeliling mereka. Dampaknya, saat nanti mereka memandang bentuk-bentuk huruf dan angka, mata mereka mampu mengikuti dan melacak garis-garis dan lengkung-lengkung itu. Memori dari gerakan-gerakan ini akan tercetak di benak mereka, lantas terbentuklah gambaran atau imaji mental atas angka-angka dan huruf-huruf ini. Sebelum mulai menulis, orientasi yang benar ini akan muncul sebagai panduan. Mereka tak lagi bingung antara huruf “b” dan “d” atau arah angka 2 dan 3.** (bersambung)

Selengkapnya..

2.19.2009

Latihan Berkonsentrasi


Apakah batita Anda tak pernah bisa diam; lari sana, lari sini, loncat sana, loncat sini? Atau ia tampak lekas bosan, tak sampai 5 menit pegang satu mainan sudah beralih ke mainan lain? Selamat datang di dunia anak 1-2 tahun! Mereka memang masih kurang fokus atau masih sulit menaruh perhatian terhadap sesuatu untuk waktu yang lama. Ini berhubungan dengan rentang konsentrasi batita yang masih pendek, patokannya sekitar 5-15 menit (bandingkan dengan kemampuan berkonsentrasi anak usia sekolah yang mencapai 30-45 menit).
Toh, patokan itu bukan angka mati. Pada dasarnya, kemampuan konsentrasi setiap anak berbeda. Ada yang hanya mencapai 5 menit, tapi ada juga yang mampu hingga 15 menit. Faktor temperamen, salah satu yang memengaruhi hal tersebut. Anak yang pembawaannya tenang umumnya memiliki rentang konsentrasi yang cukup baik. Ia tidak mudah menyerah dan tidak gampang teralihkan perhatiannya ketika sedang melakukan sesuatu. Contoh, saat tidak bisa memakai sandal, ia akan mencoba dan mencobanya lagi. Sementara anak yang energik (senang bergerak) umumnya akan memiliki rentang perhatian yang lebih rendah serta mudah teralihkan. Ia juga tampak pembosan dan gampang menyerah. Saat tak bisa memainkan pasel, misalnya, anak akan meninggalkannya begitu saja dan beralih pada hal lain. Tak ada yang salah dengan kedua model karakter tersebut. Bukankah mereka masih berusia 1-2 tahun?

FUNGSI KERJA OTAK
Mengapa rentang perhatian batita masih pendek? Sebelum menjawab hal itu, perlu diketahui bahwa konsentrasi merupakan sesuatu yang terberikan dan berkaitan dengan fungsi kerja otak. Kemampuan memfokuskan perhatian ini dipengaruhi beberapa hal lain, seperti (1) kemampuan indra (penglihatan dan pendengaran) yang berfungsi menerima rangsang, (2) kemampuan gerak motorik (dalam mengerjakan sesuatu), serta (3) peran lingkungan (dalam memberikan rangsang atau stimulus). Semua harus berfungsi dengan baik, bila salah satu tidak berfungsi optimal, maka stimulus yang masuk tidak bisa ditangkap dan diolah otak dengan baik sehingga respons yang dihasilkan pun jadi terganggu.
Nah, tingkat konsentrasi yang belum baik pada usia batita berkaitan dengan kemampuan fungsi indra, fungsi otak, dan fungsi-fungsi lainnya pada anak 1-2 tahun yang memang belum sepenuhnya optimal (masih dalam perkembangan). Keingintahuan yang besaryang mendorongnya untuk banyak bergerak (bereksplorasi); mencoba ini, mencoba itujuga merupakan penyebab si kecil jadi sulit fokus pada suatu hal dalam rentang waktu yang lama.

MELATIH TANPA MENUNTUT
Sekali lagi, meski wajar, rentang perhatian anak perlu terus ditingkatkan dengan berbagai stimulasi. Namun ingat, jangan terlalu menuntutnya dapat melakukan suatu aktivitas dengan tekun. Yang bisa diharapkan dari anak usia batita menyelesaikan satu kegiatan hingga tuntas. Tentu saja untuk itu diperlukan kegiatan yang menyenangkan, sambil bermain, tetapi memiliki tujuan. Inilah contoh-contohnya:

  • Pada batita awal yang masih minum ASI, lakukan selalu kontak mata dan ajak ia bicara saat disusui.
  • Memberikan kesempatan kepada anak dalam melakukan kemandirian seperti belajar mengenakan sepatu atau sandal sendiri.
  • Mengajak si batita melihat-lihat gambar pada buku dan membuka lembar demi lembarnya satu per satu. Jelaskan warna-warna apa saja yang ada pada gambar dengan menunjukkannya dan menanyakan kembali pada anak.
  • Ajak si kecil bicara secara fokus dan tuntas. Topik pembicaraan yang tidak jelas cenderung diabaikan oleh anak.
  • Ketika menyampaikan sesuatu, pastikan anak sedang dalam keadaan siap untuk mendengarkan apa yang dibicarakan.
Contoh cara berbicara yang lugas, tidak berpanjang-panjang kalimat dan jelas, sehingga anak dapat menangkap dan memberi respons yang sesuai.
Ajak anak bermain dengan mainan yang menantang sekaligus menuntut pemusatan perhatian seperti pasel 1-2 keping, pasel bentuk 3 dimensi yang hanya dapat dimasukkan ke dalam lubang yang bentuknya sesuai, memasukkan biji-bijian besar ke dalam botol, memasukkan air ke dalam botol memakai corong dibarengi upaya agar tidak tumpah, meronce manik-manik besar, menyusun balok-balok besar, dan sejenisnya.
Mengajak si batita melakukan aktivitas makan sendiri meski masih berantakan.
Latihan dasar konsentrasi yang sebaiknya dimulai di usia bayi, bahkan kandungan, bertujuan membangun fokus perhatian anak. Konsentrasi sangat diperlukan dalam proses belajar maupun menyelesaikan suatu tugas hingga tuntas. Bukan hanya tugas sekolah tetapi juga tugas-tugas lain dalam kehidupan.

WASPADAI di ATAS 2 TAHUN
Gangguan konsentrasi bisa mulai dideteksi setelah anak berusia 2 tahun. Kondisi ini umumnya makin tampak bila si kecil menginjak usia prasekolah dan semakin jelas saat duduk di sekolah dasar. Kecurigaan umumnya berawal dari keluhan guru karena anak sering tidak betah duduk menekuni satu kegiatan, mengganggu teman-temannya, nilai-nilai akademisnya tidak memuaskan, berbagai tugasnya tidak pernah selesai dikerjakan.
Gangguan konsentrasi akan semakin kentara bila dibarengi dengan hiperaktivitas/ADHD (Attention Deficiet Hiperactivty Disorder). Cirinya, anak seolah tidak mau mendengarkan instruksi, tak mau diam/tenang (selalu bergerak ke sana kemari), tidak selesai dalam menyelesaikan suatu tugas dan mudah teralihkan pada hal lain, ketika ditanya pun ia tidak menjawab, tidak ada kontak mata, dan (biasanya) mengganggu orang lain.
ADHD berbeda dengan ADD (Attention Deficit Disorder). Anak ADD tidak hiperaktif. Lantaran itulah, gangguan ini lebih sulit dideteksi karena anak (tampaknya) memililki pembawaan tenang dan terfokus pada satu objek tanpa teralihkan. Namun sebetulnya ia tidak bisa mendengarkan esensi yang dibicarakan orang lain, tidak bisa memilah informasi mana yang harus ditangkap maupun diabaikan, dan tidak bisa beralih perhatiannya bila memang diperlukan.
Gangguan konsentrasi tanpa hiperaktivitas atau gerak tak beraturan, biasanya diketahui ketika anak duduk di sekolah dasar. Ketika anak diketahui tidak bisa menangkap secara baik pembicaraan atau penjelasan guru, tidak mengerjakan sesuai perintah, dan lain-lain.
Bila ada perilaku mencurigakan, seperti anak menolak melakukan kontak mata, (bisa dilihat saat anak sudah lewat berusia 2 tahun) maka perlu ditegakkan diagnosa dengan bantuan ahli (psikolog klinis anak, psikiater, ataupun ahli saraf). Penanganan yang akan dilakukan umumnya berupa terapi okupasi dengan meningkatkan kemampuan motorik halusnya sehingga kemampuan konsentrasinya pun akan semakin baik. Terapi lainnya adalah terapi perilaku (misalnya, latihan bicara disertai kontak mata) dan pantang makanan tertentu (seperti susu, gandum, yang dicurigai meningkatkan hiperaktivitas). Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan konsentrasi seperti melipat, meronce, dan lain-lain, juga amat disarankan

Selengkapnya..

2.11.2009

GEMAR MENGOSONGKAN BENDA


Rasanya tak ada anak usia batita yang tak pernah bongkar-bongkar dompet/tas orang tuanya maupun orang lain semisal tamu. Kebanyakan orang tua cenderung memandang negatif perilaku tersebut. Dianggapnya, tak sopan dan lancang. Bahkan, ada pula yang sampai berpikir anak berniat mencuri. Tak heran bila orang tua malunya bukan main kala anaknya "ketangkap basah" buka-buka dompet/tas orang lain.
Padahal, kita sebenarnya tak perlu malu, apalagi sampai berpikiran negatif. Soalnya, "batita masih benar-benar polos. Niatnya buka-buka dompet atau tas sama sekali bukan lantaran ia lancang, apalagi mengarah pada keinginan mencuri. Anak usia ini, kan, belum mengerti nilai uang, konsep besar-kecil, maupun penting dan berharga atau tidak," terang Yohana Ratrin Hestyanti, Psi. dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta. Jadi, enggak fair, ya, Bu-Pak, bila kita menuduhnya demikian.
Perilaku buka-buka dompet/tas, menurut psikolog yang akrab disapa Jo ini, disebabkan anak usia ini punya dorongan kebutuhan bereksplorasi yang sangat besar. "Saking besarnya dorongan ini, ia tak mempedulikan lagi apa objeknya. Semua hal dijadikannya sasaran bereksplorasi, termasuk dompet dan isinya." Pokoknya, sepanjang objek itu dianggap menarik, ia pasti ingin tahu lebih jauh tentang benda pilihannya itu. Entah dengan memegang, meraba, membuka, memencet, mendorong, menjatuhkan, atau membongkar. Itulah mengapa, dompet/tas tamu pun jadi sasaran eksplorasinya.
Selain itu, dorongan bereksplorasi juga tak kenal tempat dan waktu. Hingga, di mana pun dan kapan pun, jika ia sudah tertarik pada suatu benda, ia langsung mengutak-atiknya. Sampai-sampai, saat kita bertamu atau kedatangan tamu pun, ia bisa saja melakukan "kegemaran"nya buka-buka dompet/tas.


GALI RASA INGIN TAHUNYA
Jadi, Bu-Pak, perilaku si kecil yang demikian wajar adanya. Justru bila kita memahami kebutuhan anak usia ini semata-mata untuk bereksplorasi, anak jadi memperoleh banyak masukan dan keuntungan. "Paling tidak, kalau aware, kita akan berusaha memahami proses perkembangan anak. Termasuk mengenali ia memang tak berniat usil, apalagi mencuri karena ia hanya tengah memasuki fase untuk menggali pengetahuan seluas-luasnya," tutur Jo.
Dengan demikian, sikap positif kita makin merangsang si kecil bereksplorasi secara sehat. Hingga, kita pun tak serta merta menghardik, "Enggak boleh!" kala ia menggeratak dompet/tas, melainkan mencoba mengkomunikasikannya, "Adek sedang apa? Dompet Bunda bagus, ya? Adek suka? Adek lagi cari apa, sih, di situ?" Jadi, kita berupaya menggali rasa ingin tahunya sekaligus "mendorong"nya bahwa tindakannya buka-buka dompet bukan kesalahan.
Baru kemudian secara perlahan, terlebih jika usianya sudah 1,5 tahun, kita kenalkan ia pada konsep kepemilikan, "Ini, kan, dompet Bunda, bukan punya Adek." Jangan lupa, anak usia ini belum mengerti konsep kepemilikan. Itulah mengapa, kita tak boleh mengatakan "kegemaran"nya ini sebagai tindakan lancang atau tak sopan.
MINTA MAAF
Tentu ia harus diajarkan pula, ada hal-hal tertentu yang tak boleh dilakukannya semisal merusak. Jadi, kala ia mulai menunjukkan keinginan menekuk-tekuk KTP atau SIM, misal, kita harus memberinya peringatan, "Eit, enggak boleh, Sayang. Nanti rusak."
Tapi jangan gunakan nada tinggi atau keras saat mengingatkannya, ya, Bu-Pak. Jangan pula panik atau heboh saat melihat ia menggeratak. "Bila kita teriak, ia pasti kaget atau malah menangis," ujar Jo. Dampaknya buruk, lo, buat si kecil bila kita kerap lepas kontrol seperti itu. "Anak jadi merasa tak nyaman dan takut."
Jika lepas kontrolnya cuma sesekali, saran Jo, minta maaf pada anak. "Maaf, ya, tadi Mama karena kaget jadi bentak Adek, deh. Mama nggak bermaksud memarahi Adek, kok, Mama cuma khawatir dompet atau kartu-kartu penting Mama rusak." Permintaan maaf dan penjelasan seperti ini membuat si kecil kembali merasa "terangkat", hingga dampaknya tak sedemikian buruk.
Anak seusia ini, terang Jo pula, justru lebih gampang menangkap apa yang kita sampaikan bila menerangkannya dengan mimik hangat/ramah dan bahasa sederhana. Terlebih bila dibarengi gerakan tangan maupun kepala semisal melambai atau menggeleng.
Lain hal bila si kecil mengarah pada tindakan berbahaya atau merugikan, "orang tua perlu bersikap tegas." Katakan "tidak", lalu segera cari objek penggantinya. Kartu ATM bohong-bohongan atau uang-uangan yang tak kalah menarik, misal, hingga ia bisa teralihkan dari kartu-kartu penting dan berharga yang ada di dompet.
JANGAN IKUT NGOTOT
Bila si kecil tetap ngotot mempertahankan alias tak mau diberi objek pengganti, Jo minta kita tak terpancing menunjukkan sikap frontal atau sama-sama ngotot. "Makin kita ngotot, ia makin asyik menikmati negasi atau penolakannya." Sama halnya meng-cut dengan mengatakan, "Pokoknya enggak boleh!", yang juga harus dihindari. Soalnya, anak usia ini cenderung menunjukkan penolakan yang kuat. "Bila dilarang, malah seperti disuruh, kan? Makin dilarang, ia justru kian gencar melakukannya dan membuat kita terpancing untuk jengkel serta mencapnya dengan sebutan si bandel atau sebutan negatif lainnya."
Harus diingat pula, larangan-larangan yang kelewat sering malah memupus keinginan anak bereksplorasi. Lantaran ia merasa tak aman dan nyaman. Nah, jangan salahkan si kecil bila akhirnya ia jadi takut atau merasa terancam, hingga keingintahuannya terhenti dengan sendirinya. Selain itu, banyak larangan dan dimarahi terus cenderung mengembangkan rasa malu, serba ragu, dan tak berani melakukan apa-apa. Jika sudah begini, bukankah ia tak bisa memanfaatkan masa bereksplorasi dan mengembangkan rasa ingin tahunya secara maksimal? Akhirnya, tahapan perkembangan lain pun ikut terhambat.
Sebaliknya, bila kita selalu sabar dan mampu kontrol diri, kita bisa segera tersadar untuk memberi reaksi yang pas. Misal, dengan memposisikan diri bersimulasi sebagai pembeli dan penjual. Hingga, si kecil pun akan mengembalikannya dengan suka rela. Cara lain, carikan pengganti berupa benda lain yang tak berbahaya namun tetap menarik buat anak; bisa berupa makanan seperti permen dan cokelat, atau berupa mainan maupun bahan bacaan. Jadi, tak perlu dilarang, ya, Bu-Pak. Wong, ia cuma ingin tahu, kok.
KENALKAN PRIVASI
Solusi yang lebih mudah untuk mengatasi "kegemaran" buka-buka dompet/tas tentulah tak meletakkan benda tersebut di tempat yang mudah dijangkau si kecil. Atau, bila memungkinkan, "belikan saja dompet sederhana yang ada gambar-gambar berkarakter lucu sesuai seleranya." Katakan padanya, "Ini dompet Ibu. Untuk Adek, nanti Ibu belikan yang baru yang ada gambarnya. Adek suka gambar Hello Kitty, kan? Nah, kita cari dompet yang ada gambar Hello Kittynya, ya." Dengan begitu, selain keinginannya terpenuhi, ia pun belajar mengenal mana miliknya dan mana yang bukan.
Selain itu, tak ada salahnya si kecil dikenalkan pada konsep privasi dan sopan santun. Apalagi anak usia batita sudah mulai bersosialisasi. Misal, "Ini tas Tante Dina. Jangan dibuka-buka, ya, Dek." Hal ini juga mengajarkannya menghormati milik orang lain dengan tak mengusik atau mengambilnya. Dengan demikian, ia pun dibiasakan untuk bersibuk dengan "harta"nya sendiri, hingga tiap kali kedatangan tamu tak lagi mengadul-adul dompet atau isi tas si tamu.
"Anak usia ini akan cepat teralihkan, kok, kalau diketahui, perilaku menggeratak dompet/tas sama sekali tak ada kaitannya dengan dorongan mencari perhatian. Sekalipun perilaku tersebut ditunjukkan kala kita kedatangan tamu. "Bukankah ketika tak diawasi dan tak dilibatkan dalam pembicaraan, anak akan mencari keasyikan sendiri?" ujar Jo. Jadi, tekannya, perilaku si kecil yang demikian semata-mata lantaran tak ada kegiatan lain yang menarik perhatiannya. "Anak usia segini, kan, memang ingin menjelajah dunia, makanya enggak bisa diam."
Namun Jo tak bisa memastikan, apakah anak akan berhenti menggeratak bila rasa ingin tahunya terpuaskan dengan penjelasan dan pendampingan orang tua. "Ini proses alam dan umumnya akan berhenti dengan sendirinya, meski tiap anak bisa berbeda pada usia berapa akan berhenti." Cepat-tidaknya kebiasaan ini hilang sangat tergantung pada banyak aspek, diantaranya minat atau ketertarikan anak. "Makin banyak bidang minatnya, makin mudah ia meninggalkan kebiasaannya." Misal, sekarang ia lagi getol-getolnya menirukan ibu berdandan atau mengenakan lipstik. Kali lain, ia gemar main masak-masakan; sementara minggu-minggu berikutnya tergila-gila main sekolah-sekolahan, dan seterusnya. Faktor lain, beragamnya tokoh peniruan yang tak terbatas pada sosok ibu atau bapaknya saja.
Dengan kata lain, "kegemaran" buka-buka dompet/tas bisa jadi lantaran proses peniruan juga. Si kecil pasti pernah, dong, melihat kita atau orang lain membuka dompet atau mengeluarkan uang saat membayar belanjaan. "Nah, lewat proses imitasi atau peniruan inilah, ia ingin melakukan hal yang sama," tandas Jo.

MENGOSONGKAN BENDA

Ada beberapa hal yang bisa membantu kita memahami si kecil dalam kaitan dengan "kegemaran"nya buka-buka dompet/tas, yaitu:

  • Kemampuannya mengosongkan benda-benda yang dijumpainya ternyata lebih dini dimiliki ketimbang kemampuannya mengembalikan isi benda tersebut ke tempat semula.
  • Baginya, kegiatan membongkar dan mengosongkan semacam itu bukan bahan lelucon yang boleh ditertawakan, melainkan "kerja" serius yang akan membantu mereka memahirkan keterampilan motorik halusnya dan mengembangkan kemampuan berpikirnya. Baginya, mengisi atau mengembalikan sesuatu ke tempat asalnya merupakan keterampilan yang lebih sulit dan tak terlalu memberi kepuasan ketimbang mengosongkan sesuatu. Jadi, jangan pernah berharap ia memasukkan benda-benda tertentu semahir ia mengeluarkan benda yang sama.
  • Pahami ada masanya bagi si kecil sebelum ia mampu mengendalikan dorongan untuk mengobrak-abrik benda-benda "terlarang".
  • Membongkar atau mengosongkan segala sesuatu merupakan pengalaman belajar yang berharga baginya, meski sangat menjengkelkan atau bahkan merugikan orang lain.
  • Mengingat pentingnya tahapan ini, beri kesempatan pada anak untuk mengosongkan dompet tanpa bentakan atau larangan. Bila keberatan, sediakan benda serupa yang jauh lebih murah.



Selengkapnya..

2.07.2009

Bijaksana dalam Melarang

Banyaknya larangan, batasan, aturan yang diberikan orangtua ke anak akan menghambat perkembangannya.

Kalimat sejenis ini dapat Anda jumpai dalam berbagai artikel-artikel tentang pengasuhan anak. Saya yakin, para penulis artikel tersebut tidak bermaksud untuk menghalangi para orangtua dalam melarang atau memberi aturan kepada anak-anaknya. Mereka hanya ingin menyampaikan atau menghimbau supaya kita, para orangtua, tidak ‘asal’ ucap dalam melarang anak-anaknya.
Mungkin tanpa kita sadari, saat melarang atau membatasi anak, saat mereka melakukan sesuatu, kita terjebak dalam kebiasaan yang sudah terjadi dari generasi ke generasi. Sehingga apa yang kita ucapkan hanyalah buah dari suatu kebiasaan, tanpa ada suatu alasan yang mendasarinya dan tanpa memperhitungkan konsekuensi atau dampak larangan tersebut pada anak kita.
Memang bukan suatu hal yang mudah untuk keluar dari suatu kebiasaan, namun bukan berarti tidak mungkin. Dibutuhkan kesadaran untuk merubah kebiasaan yang sudah terjadi secara turun temurun. ‘Sadar’ yang saya maksud adalah sadar dalam berkata-kata. Apa yang akan kita ucapkan dan apa konsekuensinya harus diketahui dahulu sebelum kata-kata disampaikan kepada anak kita.
Ada beberapa kiat yang mungkin bisa dijadikan acuan dalam melarang atau memberi batasan kepada anak:



Banyaknya larangan, batasan, aturan yang diberikan orangtua ke anak akan menghambat perkembangannya.
Kalimat sejenis ini dapat Anda jumpai dalam berbagai artikel-artikel tentang pengasuhan anak. Saya yakin, para penulis artikel tersebut tidak bermaksud untuk menghalangi para orangtua dalam melarang atau memberi aturan kepada anak-anaknya. Mereka hanya ingin menyampaikan atau menghimbau supaya kita, para orangtua, tidak ‘asal’ ucap dalam melarang anak-anaknya.
Mungkin tanpa kita sadari, saat melarang atau membatasi anak, saat mereka melakukan sesuatu, kita terjebak dalam kebiasaan yang sudah terjadi dari generasi ke generasi. Sehingga apa yang kita ucapkan hanyalah buah dari suatu kebiasaan, tanpa ada suatu alasan yang mendasarinya dan tanpa memperhitungkan konsekuensi atau dampak larangan tersebut pada anak kita.

Memang bukan suatu hal yang mudah untuk keluar dari suatu kebiasaan, namun bukan berarti tidak mungkin. Dibutuhkan kesadaran untuk merubah kebiasaan yang sudah terjadi secara turun temurun. ‘Sadar’ yang saya maksud adalah sadar dalam berkata-kata. Apa yang akan kita ucapkan dan apa konsekuensinya harus diketahui dahulu sebelum kata-kata disampaikan kepada anak kita.

Ada beberapa kiat yang mungkin bisa dijadikan acuan dalam melarang atau memberi batasan kepada anak:

1. Anda tentukan sendiri mana larangan yang berkaitan erat dengan nilai-nilai keluarga dengan yang bukan.
Ada hal-hal yang ‘tidak bisa ditawar’ yang berkaitan dengan nilai keluarga, seperti kejujuran, menghargai privasi orang lain, menepati janji dll. Dan bisa jadi setiap keluarga punya nilai yang berbeda. Dalam hal ini Anda harus tegas dalam melarang. Misalnya, melarang anak untuk tidak mengambil barang yang bukan miliknya tanpa ijin pemiliknya, melarang anak berbicara bohong dll.

2. Tanyakan kepada diri Anda mengapa anda melarang anak Anda saat mereka melakukan sesuatu. “Mengapa saya melarangnya?” Kemukakan alasan Anda kepada mereka, bukan ketakutan Anda!.
Misalnya, Jika Anda melihat anak Anda berdiri/memanjat kursi, biasanya kalimat yang keluar adalah, “Turun, nanti kamu jatuh!”, kalimat ini bukanlah mengemukakan alasan Anda, tapi mengemukakan ketakutan Anda.
Kalimat yang mengemukakan alasan misalnya, “Kursi ini tidak dinaiki, karena kaki-kakinya tidak sama panjangnya sehingga tidak stabil berdirinya” atau “Kursi ini sudah tua, tidak kuat menyangga badanmu”.

3. Jika memang Anda takut terjadi sesuatu pada anak Anda saat dia melakukan sesuatu, sebelum Anda melarangnya, dampingi dengan lebih dekat. Lihat, perhatikan dan awasi apa yang sedang ia kerjakan, bagaimana cara dia mengerjakan, apa alat yang digunakan, apakah membahayakan anak atau tidak. Jika anda merasa itu sudah membahayakan anak, segera beritahu dan tunjukkan apa bahayanya.
Misalnya, saat anak bermain gunting, berikan gunting khusus untuk anak, perhatikan benar bagaimana dia mengunting. Saat dia ingin ikut memotong sayuran, berikan pisau yang tidak terlalu tajam, seperti pisau roti.

4. Konsisten dan konsekuen dengan larangan Anda.
Itulah gunanya Anda harus sadar dengan apa yang diucapkan, karena jika tidak, bisa jadi Anda melakukan hal-hal yang dilarang. Dan hal itu berakibat kurang baik bagi perkembangan anak Anda apabila dia mengetahui orangtuanya tidak konsisten dan konsekuen dengan ucapannya. Misalnya, Anda melarang anak berbohong, tapi di suatu waktu Anda menyuruh anak Anda berbohong.

Selengkapnya..

2.02.2009

KEMAMPUAN BARU SI BATITA


Perkembangan batita selalu menarik untuk diikuti. Di usia ini selalu saja ada kemampuan baru yang dikuasainya setiap hari. Mungkin juga salah satu di antara 6 hal berikut ini adalah kemampuan yang baru dikuasai batita Anda. Apa sajakah itu?

1. MELAMBAIKAN TANGAN SAAT ADA YANG MENGATAKAN, "DAAHH...."
Saat ada orang yang melambaikan tangan sambil mengatakan, "Daahh...", batita sudah bisa membalas melambaikan tangan. Beberapa juga bisa mengatakan, "Daahh...," bahkan ada yang sudah bisa menirukan gerakan kiss bye alias mencium tangannya sebelum dilambaikan.
* Bagaimana batita memahami perintah ini?
Dengan melihat pengulangan aksi ini sehari-hari, batita bisa memahami kemudian menirukannya karena cara belajar batita adalah dengan meniru selain bereksplorasi. Ia bisa meniru suatu aksi jika melihatnya berulang kali. Terkadang ada yang sekali melihat, langsung meniru gerakan tangannya saja. Tapi biasanya untuk dikaitkan dengan kata, "Daahh...," perlu pengulangan beberapa kali.
Menurut tokoh psikologi perkembangan kognitif, Jean Piaget, sejak usia 8 bulan ke atas, anak sudah mengembangkan perilaku yang memiliki maksud tertentu atau goal directed behavior. Jadi, anak sudah paham bahwa perilaku tertentu akan mengakibatkan reaksi tertentu. Contoh, ia tahu kalau ia menunjuk gelas, ibu akan mengambilkan air minum untuknya. Begitu juga dengan melambaikan tangan. Anak sudah paham jika saatnya berpisah, maka lambaikan tangan.
* Stimulasi apa yang bisa diberikan untuk melatih pemahaman ini?
Cukup dengan pembiasaan saja. Setiap kali akan berpisah, tunjukkan lambaian tangan dan katakan, "Daahh...." Tunjukkan secara jelas pada anak bagaimana telapak tangan membuka dan lalu ucapkan, "Daahh...," secara perlahan agar jelas terdengar oleh anak dan mudah ditirukannya. Anak juga dapat dibantu dengan mengangkatkan tangannya lalu melambaikannya. Tapi jangan dengan paksaan. Karena jika dipaksa, anak malah menolak dan semakin tidak mau melakukannya.
* Bila anak belum bisa melakukannya, apa yang harus dilakukan orangtua?
Anak belum bisa melakukannya karena beberapa sebab, di antaranya:

- Merasa dipaksa
Solusi: Jadikan kegiatan ini sebagai suatu hal yang menyenangkan. Kalau anak tidak mau, jangan memaksanya. Cukup lakukan di hadapannya sebagai contoh sampai terjadi pembiasaan.
- Malu
Solusi: Lakukan bersama-sama sehingga anak tidak merasa "aneh sendiri" saat melakukannya.
- Ada hambatan pada otot tangan.
Solusi: Untuk yang terakhir ini, orangtua dapat membantu anak dengan mengajak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan motoriknya seperti mengelap kaca sambil bermain, mencuci mobil sambil bermain, membelai boneka (agar telapak tangannya membuka), dan sebagainya.
Tapi umumnya melambaikan tangan sambil mengatakan, "Daahh..." adalah kemampuan yang mudah dikuasai semua anak sehingga jarang sekali perlu perlakuan khusus untuk melatihnya.

2. MEMAHAMI PERINTAH SATU LANGKAH
Di usia ini anak sudah bisa memahami perintah satu langkah. Umpama, "Ambil bolanya," "Letakkan piringnya," "Minum susunya," dan perintah satu langkah lainnya.
* Bagaimana batita memahami perintah satu langkah ini?
Dengan semakin berkembangnya kemampuan komunikasi khususnya perkembangan bahasa, anak dapat melakukan komunikasi dua arah atau interaktif. Dengan demikian ia mampu memahami bahwa ada sesuatu yang harus ia lakukan di balik instruksi yang ia dengar. Ketika orangtua mengatakan, "Ambil bolanya," anak akan mengambil bola dan memberikannya kepada orangtua. Anak batita tanpa gangguan pendengaran atau gangguan perkembangan lainnya, seperti ADHD dan autisma selayaknya dapat mengikuti perintah tunggal tanpa kesulitan.
* Stimulasi apa yang bisa diberikan untuk melatih pemahaman ini?
Dengan mengajaknya bermain bersama, ada banyak rangsangan berupa instruksi yang dapat diberikan kepada anak. Orangtua juga bisa berganti peran dengan anak sehingga dapat memberikan contoh bagaimana cara melaksanakan instruksi. Mengikutsertakan anak dalam aktivitas "sekolah" atau kelompok bermain juga bermanfaat untuk melatih kemampuan ini.
* Bila anak belum bisa melakukannya, apa yang harus dilakukan orangtua?
Karena kemampuan ini terkait dengan kemampuan bahasa, maka orangtua harus terus memberikan stimulasi yang merangsang anak menambah database kosakatanya. Caranya dengan terus mengajaknya ngobrol, membacakan dongeng, mengajaknya bernyanyi, dan sebagainya. Sedangkan anak-anak yang memiliki gangguan pendengaran, gangguan konsenstrasi, dan autisma harus segera mendapat intervensi berupa penanganan yang komprehensif dari ahlinya.

3. PAHAM KEABADIAN OBJEK
Anak batita tahu bahwa kucing yang menghilang di balik pintu bukan benar-benar "lenyap" ditelan bumi, melainkan tetap ada meski tak terlihat lagi olehnya.
* Bagaimana batita memahami keabadian objek ini?
Menurut Piaget, di usia 8-12 bulan, anak sudah paham tentang object permanence, yaitu benda tak akan hilang meskipun hilang dari pandangan mata. Di usia ini anak mulai mengembangkan skema perilakunya yang terjadi melalui pengalaman yang dialaminya sendiri. Dengan mengeksplorasi dan mengamati, dia akan tahu bahwa benda itu masih ada. Tapi jika benda tersebut dipindahkan dari tempat persembunyiannya ke tempat kedua, anak masih terus akan mencari di tempat pertama. Kemampuan ini terus berkembang sampai anak bisa paham permainan petak umpet di usia selanjutnya.
* Stimulasi apa yang bisa diberikan untuk melatih pemahaman ini?
Melalui permainan cilukba atau menyembunyikan suatu benda dengan saputangan, anak belajar keabadian objek. Tunjukkan pada anak begitu saputangan dibuka, ternyata bendanya masih ada.
* Bila anak belum bisa melakukannya, apa yang harus dilakukan orangtua?
Bila tak ada gangguan khusus, pemahaman ini pasti bisa dikuasai anak dengan sendirinya. Jarang sekali perlu perlakuan khusus untuk melatihnya.

4. PAHAM BEBERAPA EKSPRESI EMOSI
Di usia batita, anak paham beberapa ekspresi emosi sederhana, seperti marah, sedih, senang, antusias, terkejut.
* Bagaimana batita memahami ekspresi emosi ini?
Pemahaman ini didapat sejalan dengan perkembangan sistem saraf otak, pengalaman emosi dalam kehidupannya, reaksi/respons emosi dari orang-orang terdekatnya.
* Stimulasi apa yang bisa diberikan untuk melatih pemahaman ini?
Tunjukkan ekspresi emosi yang tepat untuk setiap kejadian dan sebutkan label emosinya. Misal, "Wow, Mama senang sekali karena kamu makan sampai habis!" Katakan ini dengan ekspresi muka berseri di hadapan anak. Bantu anak memahami perasaannya dengan menyebutkan label emosinya. Contoh, anak menangis karena mainannya rusak, orangtua bisa mengatakan, "Kamu sedih ya karena mainanmu rusak...."
Orangtua juga bisa menstimulasi kemampuan ini melalui bahasa gambar. Sediakan beberapa gambar yang menunjukkan ekspresi sedih, senang, marah, antusias, terkejut. Minta anak untuk memilih gambar yang sesuai dengan apa yang dirasakannya saat itu.
* Bila anak belum bisa melakukannya, apa yang harus dilakukan orangtua?
Orangtua juga harus ekspresif terhadap emosinya sendiri, tapi tentu saja dengan ekspresi yang tepat dan tidak berlebihan. Orangtua juga harus jeli menangkap sinyal emosi anak lalu bantu ia memahami emosinya. Dengarkan keluhannya lalu identifikasikan emosi yang sedang ia rasakan dan beri masukan bagaimana reaksi/ekspresi yang tepat untuk emosi yang sedang ia rasakan.

5. MEMAHAMI ADA SESUATU DI DALAM
Anak tahu bahwa dalam lemarinya tersimpan pakaian-pakaiannya, di dalam boks mainan ada mainan-mainannya, di dalam kulkas ada makanan dan sebagainya.
* Bagaimana batita bisa memahami ada sesuatu dalam sesuatu?
Melalui pengalaman dan pengamatan sehari-hari, anak paham bahwa di dalam sesuatu mungkin ada sesuatu. Setiap hari ia melihat ibu atau pengasuhnya membuka kulkas lalu mengambil makanan dari dalamnya, atau membuka lemari dan mengambilkan pakaian untuknya. Itu semua membuatnya mengerti bahwa di dalam wadah tertutup ada ruang untuk menyimpan sesuatu.
* Stimulasi apa yang bisa diberikan untuk melatih pemahaman ini?
Sambil membuka kulkas, orangtua bisa mengatakan, "Mama mau mengambil keju dari dalam kulkas, Adek mau?" Jelaskan dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami anak apa yang tengah dilakukan supaya ia lebih mudah mengerti. Bisa juga melalui latihan, umpamanya, "Ayo, Adek buka lemarinya, biar Mama ambilkan bajunya." Atau, "Yuk, kita masukkan mainan yang sudah selesai digunakan ini ke dalam boksnya."
* Bila anak belum bisa melakukannya, apa yang harus dilakukan orangtua?
Ulang-ulang terus stimulasi di atas setiap ada kesempatan. Bisa juga saat membacakan dongeng, orangtua menjelaskan bahwa
dalam sesuatu yang tertutup bisa jadi ada sesuatu yang tersimpan di dalamnya.

6. PAHAM FUNGSI SUATU BENDA
Batita paham beberapa fungsi benda, semisal sepatu untuk alas kaki, bantal untuk tidur, piring untuk makan dan sebagainya.
* Bagaimana batita bisa memahami fungsi suatu benda?
Semua benda yang bersinggungan atau digunakan dalam aktivitas sehari-harinya, seperti saat makan, mandi, tidur, bermain, satu per satu akan dipahami fungsinya. Hal ini terjadi melalui pengamatan, pembiasaan dan peniruan. Ia melihat sebelum pergi orangtuanya selalu mengenakan sepatu, ia jadi paham bahwa sepatu adalah alas kaki yang harus digunakannya untuk bepergian, begitu juga dengan benda-benda lainnya.
* Stimulasi apa yang bisa diberikan untuk melatih pemahaman ini?
Sambil mengenalkan benda yang digunakan sehari-hari, sebutkan fungsinya dan peragakan cara menggunakannya. Lakukan ini ketika anak mulai belajar bicara, sekaligus untuk menambah kosakatanya. Umpamanya waktu mandi, "Mana sabun mandinya? Oh, ini ya? Yuk, Mama sabuni dulu supaya badan Adek jadi bersih dan wangi."
* Bila anak belum bisa melakukannya, apa yang harus dilakukan orangtua?
Secara umum anak pasti akan memahami benda-benda yang digunakannya dalam keseharian. Lakukan terus stimulasi di atas bila anak belum juga paham.

Selengkapnya..

Menjadi Orang Tua Super © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO