4.13.2009

Menjadi Orangtua Sebagai Sebuah Keputusan


Memiliki anak bisa jadi merupakan suatu perubahan gaya hidup yang bisa sangat menekan. Dr. Phil, seorang ahli hubungan asal Amerika, menyarankan kedua calon orangtua untuk membuat suatu perubahan, dan mendorong Anda untuk belajar menjadi orangtua yang baik.

Menjadi orangtua merupakan suatu keputusan
Anda bisa saja mempersiapkan diri untuk menghadapi kehadiran si kecil. Ketahuilah sejak dini, bahwa pada suatu titik, keinginan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab dan tugas menjadi orangtua bisa mendera atau tiba-tiba datang. Sambutlah tantangan yang hadir bersamaan dengan kedatangan Si Buah Hati, jangan dilawan. Buka hati Anda, dan nikmati.

Tukar prioritas
Sekarang hidup sudah tak hanya melulu tentang Anda. Anda memiliki peran penting sebagai pelindung anak Anda. Buatlah keputusan bahwa anak Anda akan memiliki orangtua yang selalu ada dan bertanggung jawab akan seluruh kebutuhannya.

Kehadiran kedua orangtua
Masing-masing orangtua memiliki peran penting terhadap perkembangan anak. Meski ibu memiliki peran lebih primer terhadap hidup anak, namun ayah pun perlu mengekspansi definisi tipe ayah seperti apakah dirinya, dan tipe hubungan apa yang akan dilakukannya dengan anak. Menurut Akademi Kedokteran Anak di Amerika, anak butuh keterlibatan ayah dalam pertumbuhannya. Ketika sang ayah hadir dan mengasuh anaknya, anak akan memiliki emosi lebih baik dan lebih memiliki kehidupan sosial lebih baik. Ditambah lagi, anak akan memiliki kemampuan beradaptasi dan menghadapi masalah lebih baik, lebih mampu menyelesaikan masalah, betah di sekolah, memiliki hubungan yang lebih lama, dan memiliki produktivitas lebih tinggi.

Role model paling berpengaruh dalam hidup anak adalah orangtua yang sama jenis
Amat penting bagi orangtua untuk memberi contoh yang baik bagi anak, karena di usia-usia awalnya anak akan menirukan orangtua dengan jenis kelamin sama. Kepribadian anak akan terbentuk sebagian besar di usia 5 tahun. Anak akan menirukan intonasi suara, juga apakah si orangtua akan menghabiskan waktu berkualitas dengannya. Anak akan merasakan apakah ia spesial atau tidak dari perlakuan yang diberikan kedua orangtua, khususnya dari orangtua yang berkelamin sama dengannya.

Hidup adalah tentang keputusan-keputusan
Pertimbangkan. Ketika Anda memutuskan untuk memilih sesuatu, akan ada harga yang harus dibayar di sisi lainnya. Jika Anda memilih untuk memprioritaskan kehidupan di rumah, maka akan ada pengorbanan di kehidupan profesional dan sosial. Begitu pula ketika Anda memutuskan lebih banyak bekerja, maka kehidupan rumah tangga Anda terancam untuk kekurangan perhatian.

Tinggalkan masa lampau
Entah seberapa sakitnya hati Anda akan situasi yang pernah Anda alami di masa lalu, jangan menyeret masalah tersebut ke dalam gaya hidup baru Anda bersama keluarga baru. Sembuhkan luka tersebut, tutup, atau hal itu bisa mengkontaminasi kehidupan Anda yang baru.

Buat deposito emosional
Manusia adalah seperti rekening bank. Jika apa yang kita lakukan adalah menarik uang terus menerus, maka kita akan berakhir bangkrut secara emosional. Anda tak dapat membuang-buang apa yang Anda tak punya. Jika Anda secara emosional tidak siap untuk Anda, berarti Anda sudah curang kepadanya. Rawatlah diri Anda fisik dan emosional, sebagai hadiah untuk anak Anda.

Anak-anak melakukan apa yang mereka lihat
Jika anak-anak sering terekspos terhadap stres, tekanan, frustasi, atau kemarahan, mereka akan merefleksikannya terhadap kehidupan sehari-hari di dalam diri maupun di lingkungannya. Mereka melakukan segala hal yang ia lihat dan pelajari di sekelilingnya.

Jadikan hubungan suami-istri prioritas
Titipkan anak kepada orang yang dipercaya untuk satu malam yang istimewa untuk Anda dan pasangan. Hubungan harmonis di antara kedua orangtua adalah hadiah terindah untuk anak.

Bekerja sama dengan suami
Mengasuh anak sama melelahkannya seperti menangani tugas lainnya, misalnya merawat rumah. Jika Anda melihat suami yang sejak tadi merawat Si Kecil mulai kelelahan, biarkan ia istirahat. Atau ketika Anda kelelahan menjaga Si Kecil, minta dengan sopan agar suami mau menggantikan sebentar. Jadilah sebuah tim yang saling mendukung.


Sumber : dr. phil


Selengkapnya..

4.06.2009

SI KECIL NGOTOT PERTAHANKAN YANG SALAH


Satu lagi "ulah" si kecil di usia ini yang kerap bikin kita jengkel. Betapa tidak, ia tahu baju yang dipakainya warna merah, misal, tapi dibilangnya putih. Ketika diberi tahu, "Bukan putih, Nak, tapi merah.", eh, ia malah ngotot, "Putih, Ma!" Coba, siapa yang enggak jengkel? Sudah gitu, ia pakai senyum-senyum segala seolah ngeledek. Tambah bikin dongkol, kan? Hingga tak jarang kita terpancing memarahi sikapnya yang nyeleneh itu.
Padahal, menyalah-nyalahkan yang benar dan membenar-benarkan yang salah semacam ini, terang Indri Savitri, merupakan hal wajar alias normal dalam dunia batita. Soalnya, pada anak usia 2-4 tahun, pola perilaku yang mengarah negativisme seperti itu masih amat menonjol, bahkan merupakan bagian dari proses perkembangannya. "Waktu bayi, ia, kan, sama sekali tak berdaya. Ia sangat tergantung pada pengasuh maupun ibunya karena segala hal masih harus diladeni dan dibantu. Seiring pertambahan usia, ia pun makin berkembang dan selalu mencoba cari tahu dengan mengeksplorasi apa saja yang ada di sekitarnya. Nah, dalam rangka bereksplorasi inilah, ia menggunakan caranya sendiri yang antara lain lewat negativisme," paparnya.
Pantas saja, ya, Bu-Pak, si kecil jadi berperilaku demikian. Bukan cuma itu, lo. Masih dalam rangka bereksplorasi, menurut Indri, si kecil di usia ini juga cenderung "ngerjain" atau memancing kemarahan orang lain, terutama orang tua dan saudara kandungnya. Ia ingin tahu bagaimana kalau ibunya marah, misal. "Meski tak semua memperlihatkan kecenderungan ini, namun pada dasarnya batita senang melihat hal-hal yang berbeda atau merasakan pengalaman yang lain," terang psikolog dari LPT UI ini.
TINGGALKAN BAHASA BAYI
Sebenarnya, perilaku ini bisa diminimalisir, kok. Maksudnya, kita bisa mencegah agar si kecil tak kelewat terpancing untuk menyalah-nyalahkan yang benar dan membenar-benarkan yang salah. Caranya, jangan ajari si kecil berbicara dengan menggunakan bahasa bayi semisal "cucu" untuk "susu", "wawo" untuk "baso", "emen" untuk "permen", dan sebagainya.
Logikanya, tutur Indri, "anak tak akan pernah berusaha belajar dan menerapkan yang benar jika dibiasakan pada yang salah."
Nah, bila Ibu-Bapak kerap menggunakan bahasa bayi saat berbicara dengan si kecil, mulai saat ini harus diubah, ya. Tentu "kesalahan" si kecil juga harus diperbaiki namun tanpa dibarengi emosi dan nada tinggi, lo. Lama-lama ia pun akan paham, kok. Tapi kita pun harus pula melihat perkembangan dan kematangannya. Maksudnya, bila si kecil usia 1,5 tahun, masih bisa diterima jika belum jelas melafalkan kata-kata tertentu yang belum akrab dengan kebutuhan fungsionalnya. Namun kita tetap mengarahkannya untuk mengucapkan kata-kata itu secara benar.
Bila usianya 3 tahun dan masih menggunakan bahasa bayi, kita harus mencermati sekaligus mencarikan ahli dan jalan keluarnya. Pasalnya, di usia ini ia seyogyanya sudah punya sekian banyak perbendaharaan kata dan mampu menyusun kalimat sederhana, serta mengucapkannya dengan lafal yang benar. Kecuali anak cadel bawaan seumur hidup karena lidahnya pendek, misal.

JANGAN TERPANCING
Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah ini? Saran Indri, terangkan saja apa adanya sesuai bahasa anak dengan pengucapan yang benar. Misal, "Ini baju merah, Nak." Gunakan pula alat bantu semisal pensil warna, crayon, atau spidol untuk membantu si kecil memahami warna secara benar. Kita bisa pula memanfaatkan benda-benda berwarna di sekitarnya agar ia makin mendalami pemahaman warna. Dengan cara ini, kita pun bisa sekaligus mendeteksi apakah ia buta warna atau tidak.
Bila ia tetap ngotot kendati sudah dijelaskan, "enggak perlulah orang tua ikut ngotot sampai main perintah hanya karena tak mau kalah." Cara begini, tutur Indri, justru bikin si kecil merasa "dijajah". Bukankah berarti ia harus selalu mengikuti pendapat kita sekalipun pendapat kita memang benar? Hati-hati, lo, dalam diri si kecil bisa terpupuk niat memberontak bila kita kerap bersikap layaknya seorang komandan yang selalu main perintah. Soalnya, makin dipaksa, makin ia menentang otoritas kita; ia makin tertantang membuktikan, "Aku juga bisa, kok, seperti Bunda." Buatnya, melakukan sesuatu yang baru semacam ini malah jadi kebanggaan tersendiri, lo.
Lebih baik, saran Indri pula, tanggapi dengan sedikit bergurau. Misal, "Ah, masa, sih, ini warna putih, Nak? Coba, deh, amati lagi." Tapi, jangan lantaran harus tetap mempertahankan selera humor, kita lantas memberinya perhatian berlebih semisal tertawa atau menganggapnya lucu. Soalnya, bila dianggap lucu, ia justru memperkuat perilaku buruk atau "kesalahan"nya tadi.
Bila ia masih juga ngotot, "lebih baik alihkan pada kegiatan lain yang lebih menarik, entah berjalan-jalan atau bermain bersama," anjur Indri. Cara ini juga bisa diterapkan bila kita tahu persis niat si kecil memang semata-mata ingin "ngeledek". "Ketimbang buang waktu dan energi, lebih baik cut saja deh dan alihkan pada aktivitas lain."
Bisa juga dengan memanfaatkan masa eksplorasi anak. Misal, "Coba, deh, Adek sebutkan yang warnanya merah itu apa saja, sih?" Dengan begitu, si kecil jadi berpikir mencari jawaban hingga wawasannya pun bertambah. Sementara kita pun tak terpancing untuk marah karena konflik terbuka dengan si kecil bisa dihindari.
Nah, enggak sulit, kan, Bu-Pak, mengatasi masalah ini?


Selengkapnya..

Menjadi Orang Tua Super © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO