10.02.2010

Empat Langkah Agar Anak Cerdas Secara Emosi


Seorang anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik tentu karena peran orang tua dan lingkungan sekitarnya. Namun, kebebasan seorang anak untuk berekspresi kadang terhambat lantaran anak-- terlebih laki-laki-- sering dilabelisasi terhadap sosok yang harus kuat. Tidak boleh menangis.

Padahal, jenis emosi baik senang, sedih, bangga, haru, dan jijik itu semua perasaan yang baik laki-laki maupun perempuan boleh mengekspresikannya. Demikian penuturan Fadhilah Suralaga, M.Psi, Pembantu Dekan (Pudek) Bidang Akademik Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Lebih lanjut Pudek I yang juga merangkap dosen psikologi pendidikan UIN Jakarta ini menegaskan bahwa pada hakikatnya perempuan dan laki-laki adalah sama.

"Pada psikologi perkembangan, dapat dibuktikan bahwa laki-laki dan perempuan pada hakikatnya sama. Namun, karena bentuk fisik yang berbeda, maka peranan pun berbeda," ujar Fadhilah, Selasa (28/9).

Dalam psikologi perkembangan, kata Fadhilah, akan pula terbukti bahwa laki-laki yang dilabelisasi sebagai sosok yang kuat, berani dan tangguh tidak semua seperti itu. "Sebaliknya, perempuan yang dianggap sensitif, mudah menangis, terlalu berperasaan, pemalu, tidak semua juga seperti itu," ujarnya.

Oleh karenanya, lanjut Fadhilah, kebebasan berekspresi adalah bawaan yang memang idealnya tak boleh ditahan. "Sebab, jika ditahan, maka fungsi-fungsi emosional tidak berjalan secara baik," katanya.

Sebaiknya pula, ujar Fadhilah, sebagai orang tua yang baik dan mengenal perkembangan emosi anak, label stereotipe pada laki-laki yang sering dianjurkan untuk tidak menangis (cengeng- red) sebaiknya tidak terus dipraktikkan. "Pembinaan emosi saat mencapai kematangan emosi perlu dikenali kepada anak-anak sejak dini. Sehingga, emosi tidak boleh ditahan," ungkapnya.


Menurut Fadhilah, tumbuh kembang anak akan berkembang dengan baik saat mereka dikenali beberapa jenis emosi. Setidaknya, ada empat langkah agar emosi anak dapat berkembang dengan baik.

Pertama, kenali jenis-jenis emosi pada anak. "Mengenali jenis emosi pada anak penting. Sehingga pada akhirnya, si anak akan tahu benar kapan ia sedih, senang, murung, jijik, dan lain sebagainya,'' jelasnya.

Selain memperkenalkan jenis emosi kepada anak, langkah kedua adalah mengajarkan mereka untuk mengelola emosinya. "Langkah kedua ini penting, agar anak tersebut mampu mengekspresikan emosinya dengan baik," katanya.

Ketiga, setelah si anak diberikan pemahaman dan pengelolaan emosi ialah ajari mereka untuk memahami emosi orang lain. "Pada tahap ini, mereka akan paham kondisi seseorang saat sedang marah karena ia pun pernah mengalami hal tersebut. Mereka tidak akan tahu seseorang sedang marah, jika ia tidak pernah mengalaminya," ungkapnya.

Terakhir, setelah semua tahapan emosi sudah dikenali pada anak, selanjutnya adalah ajari mereka untuk bersedia berkorban untuk orang lain. "Tahap terakhir ini juga penting karena dapat melahirkan empati terhadap orang lain," tandasnya.

sumber : www.replubika.or.id
Red: Endro Yuwanto
Rep: Ina Febriani

Selengkapnya..

8.30.2010

Kapan Perlu Obat Penurun Panas?

JAKARTA, KOMPAS.com - Tak perlu panik berlebihan bila suhu tubuh si kecil panas atau demam. Sesungguhnya, demam adalah respon tubuh terhadap infeksi. Itu sebabnya orangtua tidak disarankan terlalu gampang memberikan obat penurun panas bila suhu tubuh anak naik.

"Saat anak demam, idealnya memang diketahui dulu penyebabnya, virus atau bakteri. Kalau disebabkan oleh virus, 80 persen akan sembuh dengan sendirinya dan hanya 20 persen yang membutuhkan perawatan," kata dr.Kiki Madiapermana Samsi, Sp.A, dari Kemang Medical Center Jakarta, dalam diskusi bersama media di Jakarta, Selasa (30/3/2010) .

Pemberian obat penurun panas sebaiknya di berikan bila suhu tubuh anak mencapai 39 derajat celsius. "Kalau baru 37,5 derajat sebaiknya tahan dulu. Masalahnya pemberian obat penurun panas itu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi ia menurunkan suhu tubuh tapi di sisi lain bila sering-sering diberikan bisa merusak hati, padahal ini obat yang standar," tambah dr.Kiki.

Dia menambahkan, penundaan pemberian obat penurun panas dimaksudkan agar dokter bisa melihat pola sakitnya. "Kalau baru 37,5 sudah dikasih obat bagaimana dokter bisa mendeteksi polanya," tambahnya.





Kapan perlu ke dokter? "Bila orangtua merasa panik dan merasa perlu membawa anaknya ke dokter silakan saja, tapi sebaiknya jangan minta obat kalau hari itu belum perlu obat, jangan memaksa untuk periksa lab kalau baru dua hari demam," ujar Kiki.

Akan tetapi, biasanya dokter memberikan obat untuk para orangtua yang panik tersebut. "Daripada membeli obat dengan dosis tak terkontrol, mending di kasih obat antibiotik dosis rendah, jadi meski penyebabnya virus tak akan berbahaya," paparnya.

Untuk mengurangi demam anak, orangtua bisa mengompres anak dengan air hangat serta sering-sering memberinya minum. Masuknya cairan yang banyak lalu dikeluarkan lagi dalam bentuk urin, merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh.



Selengkapnya..

7.04.2010

"Picky Eater" Bisa Disebabkan Oleh Neophobia


KOMPAS.com - Picky eater adalah istilah yang diberikan pada anak yang susah makan, atau hanya suka makanan jenis tertentu saja. Kesulitan makan pada anak dapat menyebabkan anak akan kekurangan mikro dan makronutrien yang pada akhirnya dapat mengganggu pertumbuhan fisik, juga kognitif. Penyebabnya beragam, dari mulai meniru pola makan lingkungan terdekatnya yang juga pilih-pilih makanan, infeksi, masalah di perncernaan anak, hingga faktor psikologis.

Memasuki 1-2 tahun, kemauan anak untuk mencoba jenis makanan baru yang berbeda akan menurun. Kondisi ini sering disebut dengan neophobia, atau ketakutan untuk mencoba segala sesuatu yang baru yang biasanya muncul di usia-usia awal seorang anak. Mereka ini menolak jenis makanan tertentu. Mereka hanya menyukai rasa tertentu, dan hanya menyantap sejumlah kecil makanan yang tentu tak sebanding dengan kebutuhan tubuh mereka.

Umumnya, perilaku neophobic ini akan menghilang begitu anak dewasa. Pada saat itu, anak akan mulai terekspos oleh banyak hal-hal baru, sehingga sedikit demi sedikit mereka akan menjadi tidak takut lagi terhadap apa-apa yang baru yang tidak mereka kenal dan coba sebelumnya, termasuk makanan.

Picky eater yang terus menerus juga bisa merupakan proses atau reaksi emosional anak terhadap orangtuanya. Seringnya anak menerima ancaman atau hukuman karena menolak makan atau pengalaman yang tidak menyenangkan saat anak mulai mengenal makanan padat, dapat membuatnya menjadi anak dengan keluhan sulit makan. Hubungan yang tidak sesuai dan tidak harmonis antara anak dan orang di sekitarnya atau antara anak dengan kondisi lingkungan ini akan menimbulkan reaksi penolakan secara psikologis berupa gangguan makan pada anak tersebut.




Anak Anda sulit makan? Jangan dianggap sepele. Jika berat tubuhnya tidak bertambah sesuai batas rata-rata anak seusianya, orangtua tak perlu terlalu khawatir, namun tetap harus diperkenalkan dengan gizi seimbang. Namun, bila nafsu makan anak menurun, harus dicari tahu penyebabnya. Apakah karena ada masalah pada pencernaan, atau hal lainnya.

Problema makan pada anak bisa berakibat buruk pada tumbuh kembangnya. Sedikitnya makanan yang masuk ke dalam perutnya bisa menjadi indikasi bahwa anak berpeluang menderita kurang gizi. Indikator status kurang gizi dicerminkan oleh berat badan atau tinggi badan di bawah standar.

Bisa disiasati
Jika kebiasaan anak memilih makanan bukan karena masalah penyakit, yang paling mudah adalah dengan mengevaluasi menu yang dibuat untuk anak, jangan memasak yang itu-itu saja, variasikan menu makanan untuk anak, cari resep-resep dari buku-buku, koran, majalah, dan internet. Orangtua harus turun tangan mencoba sendiri resep-resep tersebut.

Orangtua seharusnya menyediakan makanan yang mengandung energi, karbohidrat, lemak, dan protein, serta vitamin. Tanpa vitamin, maknaan yang diasup tidak akan optimal diubah menjadi energi. Seluruh faktor ini diperlukan untuk pembentukan otot, tulang, sel-sel organ, serta membantu penghantaran informasi di otak.

Kalsium dan protein merupakan zat gizi kunci untuk pertumbuhan fisik anak karena sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang dan otot. Protein juga dibutuhkan untuk perkembangan fungsi otak sehingga dapat meningkatkan fungsi kognitif anak.

Picky eater sendiri sebetulnya bisa disiasati. Kuncinya ada pada orangtua dan pengasuh anak. Misalnya, sejak anak berusia 6 bulan, orangtua atau pengasuh anak mulai memberikan makanan padat. Nah, masa perkenalan ini harus terus-menerus dicoba dan dilakukan. Jangan misalnya baru sekali anak menolak makan sayur, terus tidak dicoba lagi. Bisa jadi, pada upaya yang kelima, baru anak mau makan sayur. Orangtua juga harus kreatif mencari pengganti dari jenis makanan yang tidak disukai anak. Pola makan seimbang mengharuskan adanya karbohidrat, protein, lemak, ditambah sayuran dan buah. Kalau anak tidak mau makan nasi, bisa diganti dengan roti, kentang, atau pasta. Itu untuk karbohidratnya.

Atau kalau anak enggak suka ikan, bisa diganti daging dan sebagainya. Siasati juga penyajian makanan untuk si kecil. Misalnya, membuat sendiri bakso, kemudian di dalamnya dimasukkan wortel atau brokoli yang sudah dihancurkan dengan blender.

Perhatikan pula jam makan anak, jangan memberikan susu atau selingan makanan yang manis-manis mendekati waktu makan. Buat jadwal yang teratur dari pagi menjelang tidur, dengan antara 2-3 jam. Jangan memaksa anak untuk menghabiskan makanannya. Mungkin dia sudah merasa kenyang.

Jangan lupa, jadikan waktu makan sebagai hal yang menyenangkan serta selalu memberikan contoh pola makan yang baik.


Selengkapnya..

2.13.2010

Musik Klasik Bantu Naikkan Berat Badan Bayi Prematur

LONDON--Para ahli syaraf telah sepakat bahwa getaran atau suara musik klasik seperti ciptaan Mozart dan Bethoven senada dengan getaran syaraf otak. Lantaran getarannya yang sama, musik klasik bisa merangsang syaraf otak untuk beraktivitas, dan ini membantu meningkatkan kecerdasan otak.
Tak sampai disitu, sebuah riset terbaru di AS melaporkan memainkan musik klasik karya Mozart pada bayi prematur diyakini membantu menaikan berat tubuhnya. Hal itu disebabkan,bayi prematur hanya mengeluarkan sedikit energi ketika ditenangkan oleh alunan musik klasik.
Sayangnya, musik klasik karya komposer lain macam Bethoven dan Bach dilaporkan tidak memperoleh hasil signifikan lantaran keduanya tidak memiliki kesamaan pada melodi repetitif (berulang) seperti yang dimiliki mozart.
Dalam laporan itu, peneliti juga menyebutkan memainkan musik karya Mozart bisa mengurangi waktu yang dihabiskan bayi saat di rumah sakit, dan tentunya memghemat pengeluaran.


Sebelumnya, peneliti memainkan musik karya Mozart kepada bayi prematur selama 30 menit dan mengukur energi yang mereka gunakan, dan membandingkan dengan jumlah energi yang dikeluarkan saat bayi dalam kandungan.
Usai mendengarkan musik, bayi yang baru lahir mengeluarkan sedikit energi, dan menyebabkan mereka mengalami kenaikan berat badan lebih cepat.
Setelah berhasil dilahirkan, bayi begitu rentan terkena infeksi dan penyakit saat berada di rumah sakit, dan peneliti berkeyakinan berat badan bayi membantu mereka kebal terhadap masalah infeksi dan penyakit dikemudian hari.
Dr Dror Mandel, anggota Proyek Internasional yang didukung konsorsium Newborn Individualized Developmental Care and Assessment Program (NIDCAP) mengatakan hasil riset yang diperoleh peneliti akan berdampak luas bagi penanganan bayi-bayi prematur.
"Ini belumlah usai, bagaimana musik mempengaruhinya, tapi cukup menenangkan dan sedikit mengurangi rasa gelisah," tegasnya seperti diikuti Telegraph.co.uk, Ahad (10/1).
"Melodi repetitif (berulang) pada mozart mungkin saja berpengaruh terhadap pusat syaraf yang berada di korteks otak," tambahnya.
Berbeda dengan Berthoven, Bach dan Bartok, kata dia, melodi repetitif begitu dominan pada karya Mozart. Meski begitu, dia menyarankan diperlukan riset yang lebih mendalam untuk hipotesis tersebut.

Selengkapnya..

Biarkan Anak-anak Bermain


Anak-anak sekarang dihadapkan pada berbagai jenis kompetisi, mulai dari kontes idola sampai lomba melukis. Orangtua pun sibuk mengantar anaknya dari lomba ke lomba yang menjanjikan piala dan kebanggaan itu. Tetapi, apakah kompetisi semacam itu benar-benar dibutuhkan anak?
Psikolog dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Tjipto Susana, mengatakan, akhir-akhir ini memang banyak kontes talenta yang muncul di televisi. Orangtua yang ingin anaknya populer segera mendaftarkan mereka sebagai peserta. Kondisi semacam ini tidak lepas dari berjangkitnya budaya hidup instan di masyarakat.
Menurut dia, kultur kolektif di Indonesia masih sangat kuat. Oleh karena itu, ada semacam pandangan bahwa kesuksesan anak menjadi cermin kesuksesan orangtua dan keluarga. Di tengah lingkungan yang semakin individualis, pandangan semacam itu bisa tidak mendukung perkembangan anak.
Bercita-cita menjadi idola tentu tidaklah salah. Namun, orangtua mestinya tidak memaksa anaknya menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuan dan keinginan anak. ”Anak-anak yang dipaksa seperti itu hidupnya tidak akan happy karena selamanya akan bergantung pada reward dari masyarakat yang sifatnya semu,” jelasnya.


Kontes-kontes semacam itulah yang menjadi pangkal kegelisahan pelukis Yogyakarta, Yuswantoro Adi, dan teman-temannya. Saat diminta menjadi juri dalam sebuah lomba melukis, ia mendapati karya lukis anak-anak peserta lomba yang cenderung seragam. Awalnya itu tidak terasa mengganggu. Namun karena kecenderungan semacam itu ia temui dari lomba ke lomba, ia pun menaruh curiga.
Setelah ditelusuri, ia menemukan jawabannya. Rupanya kini bermunculan sanggar lukis yang khusus mengajari anak-anak pemenang lomba. Orangtua yang ingin anaknya menjadi juara pun aktif memasukkan anaknya ke sanggar-sanggar semacam itu.
”Karya anak-anak cenderung seragam karena selama di sanggar mereka diajari untuk melukis dengan gaya tertentu yang menurut sanggar itu paling bagus. Jadi standar lukisan anak yang bagus itu ditetapkan, anak tidak ditanyai lukisan yang bagus menurut mereka itu seperti apa,” kata Yuswantoro, pekan lalu.
Buat Yus, kisah dari ajang lomba lukis itu bisa jadi hanya satu potongan kecil dari cerita besar tentang kondisi anak masa kini. Dan kenyataan itu membuatnya benar-benar khawatir. ”Memangnya nanti kalau sudah besar mereka pasti jadi pelukis? Mestinya anak-anak dibiarkan menjadi dirinya sendiri,” ucapnya.
Sutradara teater Nano Asmorodono menambahkan, fenomena yang ditemukan dalam lomba seni lukis itu juga terjadi di banyak bidang lain. Orangtua kerap mendaftarkan anak-anaknya ikut lomba dan melakukan apa pun agar anaknya menang. Orangtua memaksakan kepentingannya sendiri terhadap anak sehingga kebutuhan anak justru tidak diperhatikan.
Berangkat dari kegelisahan itulah, mereka lantas menggagas sebuah acara untuk anak. Jadilah acara itu Biennale Anak, sebuah ruang seni dan budaya khusus buat anak. Awalnya, acara khusus buat anak ini menjadi salah satu sesi dalam perhelatan seni rupa Biennale Jogja X yang berlangsung pada 11 Desember 2009-10 Januari 2010. Namun, padatnya acara selama Biennale untuk dewasa membuat sesi untuk anak akhirnya berlangsung terpisah.
Keterlibatan anak
Biennale Anak yang bertema ”Dokumenku” berlangsung pada 12-22 Januari di kompleks Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Demi anak, area TBY yang semula terkesan sangar oleh karya-karya perupa peserta Biennale untuk dewasa berubah menjadi lebih ceria dengan sentuhan karya anak-anak. Ada lukisan warna warni, gambar, grafiti, komik kolase, dan tentu saja boneka.
Semua kegiatan melibatkan anak karena acara ini memang didedikasikan untuk anak. Panitia hanya fasilitator. Sebanyak 283 anak berusia 4-18 tahun terlibat dalam acara ini. Mereka tidak hanya datang sebagai penikmat, tetapi juga pelaku. ”Ini adalah ruang bermain. Jadi tujuannya memang agar anak-anak bermain di sini,” ujar Yuswantoro.
Di ruang pameran TBY, misalnya, pengunjung bisa menyaksikan karya anak berupa lukisan, komik kolase, serta boneka. Karya-karya tersebut dihasilkan oleh anak-anak yang mengikuti pelatihan seni dua bulan sebelumnya. Salah satunya adalah Cinde Gaharu (7), yang memamerkan karyanya berupa boneka perempuan dari kertas. Karya itu juga menjadi gambar dalam spanduk berukuran besar yang dipasang di kompleks TBY. ”Saya membuat boneka karena suka sama boneka. Yang mengajari Pak Bagong (pelatih workshop boneka),” ujarnya.
Jika kurang berminat pada lukisan, mereka bisa bermain musik, menari, menyanyi, menjadi pemandu acara (MC), atau sekadar datang dan bermain. Mereka bisa menonton pertunjukan wayang kancil oleh dalang Ki Ledjar Subroto, film anak karya Garin Nugroho, serta pentas seni anak-anak. Selain itu, mereka bisa menjadi peserta pelatihan membuat celup ikat, bermain dengan clay, melukis layang-layang serta membuat boneka dari perca.
Minat
Selama berada di arena Biennale Anak, peran orangtua terbatas pada mengantar dan mengawasi anak-anak mereka. Rimon Siregar dan Rumila, misalnya, berpendapat bahwa acara semacam ini sangat positif bagi anak. Oleh karena itu, mereka tidak keberatan mengantar Joan Siregar, anak mereka yang baru duduk di kelas dua SD, ke Biennale Anak. ”Di sekolah anak saya ikut ekstra menggambar. Karyanya juga dipamerkan dalam acara ini. Asal anak memang berminat, kami pasti mendukung,” kata Rimon yang tinggal di Sleman.
Faktor minat jugalah yang membuat Beta Uliansyah rajin mengantar anaknya, Abas Uliansyah (5), setiap sore ke arena Biennale Anak. Sepanjang acara, banyak kegiatan yang dinilainya bisa mendukung pendidikan anaknya yang belajar dengan sistem homeschooling. ”Anak saya punya metode belajar yang berbeda dengan kebanyakan anak lain sehingga saya enggak tega memasukkan dia ke sekolah umum. Jadi kami harus rajin mencari kegiatan alternatif sehingga bisa mendukung proses belajarnya. Dan ternyata di sini dia sangat menikmati, mulai dari kegiatan membuat layang-layang, nonton wayang kancil, sampai main di Pasar DolDolanan,” ujarnya.
Menurut psikolog Tjipto Susana, orangtua bisa mengenali bakat anaknya dengan terlebih dahulu melupakan tren yang sedang berlaku. ”Tren membuat orangtua tidak sensitif terhadap bakat anak. Kalau orangtua sudah tidak peduli tren, baru dia bisa melihat minat anaknya dan dalam bidang apa anak itu bisa belajar dengan cepat. Sesuatu yang bisa dipelajari dengan cepat biasanya memang diminati anak. Kalau sudah ketemu, bakat itulah yang perlu dikembangkan tanpa melupakan pelajaran lainnya,” tuturnya.
Maka, biarkan anak-anak bermain. Mereka bisa bermain-main menjadi pelukis, pembuat boneka, penyanyi, penari, wali kota, apa saja....
Oleh Idha Saraswati

Selengkapnya..

1.06.2010

Mengulang-ulang Bikin Anak Pintar

Memang, kalau dilihat dan diamati, lucu juga perilaku mengulang-ulang di usia batita ini. Tidak jarang kita dibuat tertawa olehnya tetapi sering pula kita menjadi kesal karenanya. "Kalau keseringan dan terus-menerus, bete juga menanggapinya apalagi meladeninya. Bayangkan saja, masa setiap si kecil mau tidur saya harus membacakan dongeng si kancil yang sama. Sudah 3 bulan, lho," cerita seorang ayah dengan nada gemas.
Menanggapi kebiasaan di usia batita itu, Ceti Prameswari Psi., dari LPT UI ikut urun rembug memberikan pandangan dari sudut keahliannya sebagai psikolog. Menurutnya, orangtua harus paham bahwa di usia batita, anak sedang mengalami masa eksplorasi. "Ia tengah mendengar dan melihat hal-hal baru yang selama ini belum masuk ke perbendaharaan wawasannya. Sesuatu yang baru ini akan menjadi daya tarik baginya. Nah, mengulang-ulang sesuatu merupakan salah satu cara bagi anak usia batita dalam menunjukkan minat atau ketertarikannya pada hal tersebut," ungkap Ceti.

Masa ini menurutnya merupakan momen yang baik untuk memberikan pengalaman yang beragam kepada si batita. Sebab itulah Ceti menyarankan kepada kita semua untuk tidak membatasi minat anak pada sesuatu hal. "Pahami saja perilaku mengulang anak sebagai bagian dari cara dia mempelajari hal-hal baru."

Ceti mengerti, orangtua mungkin akan merasa bosan dengan apa yang diulang-ulang oleh anaknya itu, bahkan tak jarang orangtua yang merasa terganggu. "Tapi ingat apa yang kita simpulkan tersebut adalah buah pikir orang dewasa, bukan anak. Anak berpikir dan melihat dunianya dengan cara yang berbeda dari kita orang dewasa."


Dengan mengulang-ulang seperti itu, sejatinya anak belum cukup paham dan puas mencari apa yang ingin diketahuinya. Lama-lama, seperti halnya orang dewasa, dengan mengulang-ulang dia akan mampu memahami dan bisa memenuhi rasa ingin tahunya," Ceti menambahkan.

Tugas kita sebagai orang dewasa adalah mendampingi anak dan memberikan kesempatan bereksplorasi seluas-luasnya. Jangan halang-halangi anak untuk mengulang-ulang sesuatu yang disukainya. Orangtua justru harus memberikan waktu dan memenuhi keinginan anak jika ia ingin mengulang sesuatu. Sebab dengan begitu dia belajar sesuatu hal yang baru dan penting baginya.

Tak hanya pengetahuan, perilaku menglang juga membuat anak terampil. Contoh, karena sering minta diputarkan film favoritnya, anak jadi tahu tahapan memutar DVD di komputer atau DVD player. Saat yang kesekian kalinya, dia bisa saja sudah tidak perlu pertolongan orang dewasa karena mampu menyalakan dan memutar sendiri film yang ia mau.

Selain meniru apa yang dilihatnya, pengulangan juga membuat anak mampu meniru apa yang didengarnya. Hal ini sangat membantu perkembangan kemampuan berbahasanya.

Ada Batas
Namun, Ceti menambahkan keterangannya, anak yang terlalu fokus mengulang-ulang hal yang sama akan kurang baik hasilnya. Orangtua perlu memberikan pengalaman baru yang dapat membuka wawasan anak terhadap banyak hal. Jika si kecil sudah terlalu sering minta didongengi cerita Kancil, misalnya, pancinglah minatnya untuk menikmati cerita lain yang bermanfaat dalam membuka wawasannya. Lihatlah reaksinya dan tanyakan pendapatnya; apakah ia suka atau tidak, mengapa ia suka atau tidak suka, dan seterusnya.

Hal ini penting, karena menurut Ceti, orangtua perlu mengetahui bagaimana anak memaknai hal-hal baru yang dilihat/didengarnya. "Jika ada pemahaman anak yang keliru, kita bisa segera mengoreksinya. Misalnya, kalau anak minta diputarkan film Transformers setiap hari selama seminggu, kita perlu menggali sebetulnya apa sih yang menarik dari film tersebut. Apakah bentuk robot-robotnya, relasi robot-robot Transformers dengan manusia, atau yang lainnya?"

Agar dapat memberikan masukan yang tepat kepada anak, orangtua harus ikut menyelami apa yang sedang dieksplorasi anak. Bijaklah menghadapi perilaku mengulang-ulang si batita jika tujuannya untuk mencuri perhatian. Biarpun bikin kesal, anak merasa ulahnya berhasil membuatnya diperhatikan. "Bunda kan sibuk terus, aku minta diputarkan lagu kemarin saja, deh yang tidak disukai Bunda." Jika si Bunda terpancing dan akhirnya mengomel, berarti si batita berhasil mendapatkan perhatian meski dalam situasi yang tidak menyenangkan.

Ceti menganjurkan agar sabar dan tidak cepat kesal menghadapi si kecil yang senang mengulang-ulang apa pun seolah tak ada bosannya. Justru artinya, ia sedang belajar. Jadi saat mendampinginya, tidak ada cara yang paling tepat selain meladeni, memfasilitasi, dan memberikan pengalaman-pengalaman baru.

(Gazali Solahuddin/Tabloid Nakita)

Selengkapnya..

Menjadi Orang Tua Super © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO