11.25.2009

Bayi Menangis dalam Bahasa Ibu


Meski suara tangis bayi di seluruh dunia terdengar sama saja, ternyata suara tangis bayi memiliki pola melodi yang berbeda, menyesuaikan dengan melodi suara bahasa ibunya.

Penelitian menunjukkan, bayi Perancis yang baru lahir cenderung menangis dalam pola melodi yang makin lama makin kencang, sementara suara tangis bayi Jerman cenderung dalam melodi menurun. Hal ini konsisten dengan perbedaan cara bicara orang dari dua negara tersebut.

Dalam risetnya para ahli merekam dan menganalisa suara tangis 60 bayi baru lahir saat mereka berusia 3-5 hari. Bayi-bayi ini berasal dari orangtua yang berbahasa Perancis dan orangtua berbahasa Jerman. Ternyata bayi ini memiliki melodi suara tangis yang mirip dengan bahasa orangtuanya.

Oleh sebab itu para orangtua disarankan untuk berinteraksi dengan anak sejak dalam kandungan, jauh sebelum anak bisa mengeluarkan celoteh (babble).

Berbagai penelitian juga menunjukkan interaksi dan komunikasi yang dilakukan ibu pada bayi sejak dalam kandungan akan memengaruhi kemampuannya berbahasa kelak. Studi lain juga membuktikan bayi baru lahir sudah mampu mengenali suara ibunya sejak dilahirkan.

Meski demikian, para ahli mengingatkan agar orangtua tidak terlalu berlebihan dalam mengajarkan anak kemampuan berbahasa. Meski bayi tiga bulan sudah mampu menangkap suara vokal yang dibuat orang dewasa, namun kemampuan mereka tergantung pada kontrol vokalnya.

Orangtua bisa mengajak bayi berkomunikasi dalam bahasa sederhana dan diucapkan dengan kalimat yang lembut dan penuh kasih sayang. Belaian dan pelukan hangat setelah bayi lahir juga efektif membangun kelekatan dengan ayah ibunya dan mendukung anak untuk belajar berinteraksi dengan orang lain secara spontan.

AN

Selengkapnya..

10.31.2009

Anak Berbakat yang Sulit Belajar, Ini Stimulasinya

JAKARTA, KOMPAS.com — Anak atau siswa yang bakatnya tertutupi oleh kesulitan belajar ternyata banyak dipengaruhi oleh lingkungan teman sebaya, pola asuh dalam keluarga, kondisi sosial ekonomi, dan harapan orangtua akan masa depan si anak.

Tak mudah memang, tetapi ada solusi yang sepatutnya bisa dilakukan. Beberapa solusi ada setelah orangtua dan pendidik memahami adanya perbedaan antara bakat dan ketidakmampuan anak/siswa didiknya, serta mengenali ciri-ciri potensi diagnosis yang salah tersebut. Hal itu merupakan langkah-langkah sederhana sebagai stimulasi menghadapi anak-anak dengan kemampuan otak berbakat (gifted brain), tetapi sekaligus juga menunjukkan ketidakmampuannya (disability).

"Sesuatu yang ada di dalam diri seorang anak, itulah yang perlu dikeluarkan, yang semestinya diekspresikan," kata Socrates. Namun kiranya, ucapan filsuf Yunani tersebut perlu dijadikan pegangan sebelum memulai langkah-langkah yang perlu diambil di sini. Ada lima langkah yang justru akan berpulang pada kondisi si anak itu sendiri.




Memang, stimulasi yang diperlukan adalah langkah-langkah yang cenderung tidak bersifat memaksakan kehendak. Hal ini seperti pernah disebutkan oleh psikolog Dr Rose Mini AP, M Psi dalam makalahnya tentang "Keberhasilan Pendidikan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya", beberapa stimulasi tersebut antara lain:

- Jangan pernah membandingkan antara satu anak dengan yang lainnya. Camkan bahwa setiap anak berbeda, baik dari segi kecepatan belajar, gaya belajar, maupun pencapaian hasil atau lain-lain yang berhubungan dengan proses anak menyerap ilmu atau pelajaran yang diberikan.

- Rangsang, bukan "ajarkan", anak untuk mengembangkan berbagai aspek kemampuan, terutama kreativitasnya. Persepsikan bahwa sekecil apa pun kreativitasnya adalah hal yang sangat positif, baik buat dirinya maupun lingkungan di sekitarnya.

- Tularkan tentang pemahaman-pemahaman moral dan indahnya bersosialisasi di luar lingkup sehari-hari si anak. Ingat, Anda hanya "menularkan", bukan mengajarinya bersosialisasi, saling menghargai, atau menghormati sesama individu. Alhasil, aksi nyata berupa contoh-contoh sikap dan perilaku sangat diperlukan, dan itu semua harus dimulai dari diri Anda sebagai orangtua atau pendidik.

- Fokuskan pada proses dan penugasan ketimbang perolehan hasil. Perlu diingat, bahwa hasil yang optimal akan dicapai oleh si anak saat mereka menguasai kemampuan yang memang dibutuhkannya.

- Kenali berbagai kebutuhan mereka tersebut lewat aktivitas, hobi, atau kegemarannya. Dari sinilah orangtua atau pendidik mudah mengenali potensi yang dimiliki guna melihat perkembangan yang lebih optimal.

Selengkapnya..

9.20.2009

Meramal Kesehatan Si Sulung

Kondisi kesehatan setiap anak berbeda-beda, meskipun mereka kakak beradik. Bisa jadi, si sulung gampang batuk, si tengah rentan stres, tapi si bungsu jarang jatuh sakit. Nah, tak sedikit penelitian atau riset dilakukan untuk meneropong risiko penyakit seseorang berdasarkan posisi urutan kelahirannya dalam keluarga. Berikut beberapa penelitian tersebut.

Anak Sulung
Majalah Science dalam studi terbarunya menunjukkan fakta, skor tes IQ anak sulung cenderung lebih tinggi ketimbang adik-adiknya. Secara angka, didapati skor si sulung 3 angka lebih tinggi ketimbang si tengah, bungsu dan lainnya.

Riset ini secara tak langsung didukung pula studi yang diselenggarakan University of Glasgow, yang menyatakan tingginya kecerdasan dan tingkat kesehatan berjalan seiring. Disebutkan pula, si sulung yang notabene skor tes IQ-nya lebih tinggi, rendah kemungkinan mengalami penyakit jantung.

Berbagai penelitian lain juga menyebutkan, anak sulung relatif rentan terhadap alergi, asma, dan eksim. Salah satu alasan yang dipaparkan, karena si sulung termasuk anak yang kelewat "dilindungi", kurang diberi kekebasan bereksplorasi karena orangtua takut ia akan jatuh dan terluka. Alhasil, lantaran kurang berakrab diri dengan berbagai bakteri atau virus, daya tahan atau imunitas tubuhnya pun terbilang rendah.
Berbeda dengan adik-adik, entah itu si tengah atau si bungsu, yang biasanya lebih banyak diberi kekebasan mengeskplorasi alam karena orangtua sudah berpengalaman mengasuh anak pertama. Alhasil, daya tahan tubuh anak kedua dan selanjutnya biasanya lebih kuat.

Seiring dengan riset yang menyebutkan bahwa si sulung rentan alergi, Amal Assa'ad, MD, Profesor alergi dan imunitas dari Cincinnati Children's Hospital Medical center, menyebutkan, karena rentan alergi maka si sulung beresiko pula mengalami infeksi sinus kronis. Nah, kebanyakan infeksi sinus kronis ini menimbulkan gejala bersin-bersin dan hidung terasa gatal.

Penelitian lainnya, studi dari Karolinska Institute Stockholm menyatakan, anak sulung laki-laki sangat berisiko mengalami kanker testis. Kenapa begitu? Sebab, kadar estrogen yang diterima si sulung saat di kandungan lebih tinggi dibanding adik-adiknya. Kasus ini memang relatif langka, akan tetapi tetap mesh diwaspadai karena bisa terjadi ketika usia remaja. Kendala ini sebenarnya bisa ditangani bila ditemukan pada stadium awal.

Menurut American Cancer Society, bila keluarga dari suami punya riwayat penyakit ini, si sulung disarankan untuk menjalani pemeriksaan tiap bulan guna mendeteksi munculnya kanker testis.

Selengkapnya..

8.23.2009

Menghadapi Ledakan Emosi Anak



Tingkah laku kemarahan anak Anda yang masih kecil tidak kunjung berhenti juga hari itu. Terdengar jeritan tingginya begitu memekakkan telinga. Dan banyak barang telah menjadi sasaran kemarahannya. Semua tindakan orangtua jadi salah. Secara naluriah, Anda ingin pergi meninggalkan situasi seperti ini bukan?? Namun ini bukanlah pilihan bijaksana. Pastilah ada solusi pemecahannya.
Hiruk-pikuk si kecil yang sedang berteriak dan menendang ini dapat membuat kita, para orangtua, frustasi. Bagaimana menghadapi situasi ini? Alih-alih melihat kemarahan sebagai suatu bencana, mari kita coba melihat kemarahan sebagai kesempatan untuk belajar.
Kenapa Emosi Anak-anak Bisa Meledak?
Ada berbagai perilaku ledakan emosi, mulai dari menangis dan melolong hingga menjerit, menendang, memukul, maupun menahan nafas kuat-kuat. Ledakan emosi biasanya terjadi dari usia 1 hingga 3 tahun, baik anak laki maupun perempuan. Temperamen anak-anak berubah secara dramatis, jadi beberapa anak mungkin mengalami ledakan emosi secara berkala, sedangkan yang lain mungkin hanya jarang-jarang saja.
Bahkan anak kecil yang baik sekalipun terkadang bisa mengalami ledakan emosi yang sangat kuat. Ini adalah bagian pengembangan diri yang normal dan tidaklah perlu dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Perlu disadari bahwa anak-anak belum memiliki kemampuan kontrol diri seperti orang dewasa.
Bayangkan bagaimana rasanya saat Anda butuh untuk mengoperasikan sebuah DVD Player dan tidak bisa melakukannya, tidak peduli betapa kerasnya Anda mencoba. Hal ini disebabkan karena Anda tidak mengerti cara melakukannya. Sangatlah membuat frustasi, bukan? Beberapa dari kita mungkin mengomel, melemparkan buku petunjuk pengoperasian, membanting pintu dan lain sebagainya. Itu adalah luapan emosi versi orang dewasa. Nah anak-anak juga mencoba menguasai dunia mereka, dan di saat mereka tidak bisa melakukan sesuatu, sering kali mereka menggunakan satu cara untuk melampiaskan kejengkelan mereka, yaitu meluapkan emosinya.
Beberapa penyebab dasar dari ledakan emosi yang sering dikenali adalah kebutuhan akan perhatian, lelah, lapar, ataupun perasaan tidak nyaman. Sebagai tambahan, ledakan emosi ini adalah akibat frustasinya si anak karena mereka tidak bisa mendapatkan sesuatu (misalnya suatu benda ataupun perhatian orangtuanya) untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Frustasi merupakan suatu bagian dari hidup mereka yang tidak bisa dihindarkan sembari mereka mempelajari bagaimana manusia, benda, dan tubuh mereka bekerja.
Ledakan emosi juga umum dialami saat usia 2 tahun, saat di mana anak-anak belajar menguasai bahasa. Mereka mengerti akan sesuatu namun susah untuk mengatakannya karena keterbatasan bahasa. Bayangkan bila kita tidak bisa mengkomunikasikan kebutuhan kita kepada seseorang; ini adalah pengalaman buruk yang bisa memicu emosi. Dengan meningkatnya kemampuan berkomunikasi, ledakan emosi ini cenderung menurun.


Penyebab lain dari ledakan emosi terjadi saat anak harus melewati suatu masa dimana kebutuhan akan otonomi meningkat. Di masa ini mereka ingin mendapatkan suatu kebebasan dan pengendalian. Sebenarnya hal ini adalah kondisi yang bagus untuk memupuk semangat berjuang, di mana seringkali anak berpikir “aku bisa mengerjakannya sendiri” atau “aku mau itu, berikan itu padaku”. Nah, saat mereka merasa bahwa mereka tidak bisa mengerjakan atau tidak bisa memperoleh apa yang mereka inginkan, maka ledakan emosi bisa terpicu.
Menghindari Ledakan Emosi Kemarahan
Cara terbaik untuk mengatasi ledakan emosi adalah dengan menghindarinya bilamana memungkinkan. Berikut ini adalah strategi yang bisa membantu:
• Pastikan anak Anda tidak bersandiwara hanya karena dia tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Bagi seorang anak, perhatian negatif (reaksi orangtua terhadap ledakan emosi kemarahannya) adalah lebih baik ketimbang tidak ada perhatian sama sekali. Cobalah untuk membiasakan diri mengenali perilaku baik sang anak dan memberikan penghargaan atas perilaku baiknya.
• Cobalah memberi anak-anak tersebut suatu kontrol atas hal-hal kecil yang mereka sanggup lakukan. Hal ini akan memenuhi kebutuhan mereka akan kebebasan dan mengurangi ledakan emosi kemarahan secara drastis. Tawarkan pilihan kecil seperti “Apakah kamu mau jus jeruk atau jus apel?” atau “Apakah kamu mau menggosok gigi sebelum atau setelah mandi?”. Dengan cara ini, Anda tidak bertanya “Apakah kamu mau menggosok gigi sekarang?” yang tanpa bisa dihindari akan dijawab oleh sang anak dengan “Tidak”.
• Simpan dengan baik benda-benda berbahaya agar di luar jangkauan anak-anak, jauhkan dari pandangan mata ataupun jangkauan tangan mereka; sehingga mereka tidak perlu berjuang begitu keras untuk mendapatkan benda-benda tersebut. Tentu saja hal ini tidaklah mungkin bisa dilakukan setiap waktu, khususnya di luar rumah di mana lingkungan tersebut tidaklah bisa dikendalikan.
• Alihkan perhatian sang anak. Manfaatkan rentang perhatian anak yang pendek dengan menawarkan barang pengganti ataupun memulai aktivitas baru untuk menggantikan aktivitas yang berpotensi membuat frustasi ataupun yang dilarang. Atau bisa juga dengan mengganti suasana dengan membawa mereka ke ruang lain.
• Tatkala anak-anak bermain atau berusaha menguasai suatu tugas baru, aturlah agar mereka bisa mengalami keberhasilan setahap demi setahap. Berikan mainan yang sesuai dengan umurnya. Juga mulailah dengan sesuatu yang sederhana dan mudah sebelum melanjutkannya dengan tugas yang lebih menantang.
• Pertimbangkan permintaan anak dengan seksama. Apakah permintaan ini terlalu berlebihan atau tidak? Pertimbangkan dengan baik, penuhi permintaan tersebut bilamana tidak berlebihan.
• Ketahui limit/batasan anak Anda. Jika Anda tahu anak sedang lelah, maka tidaklah tepat untuk mengajaknya berbelanja ataupun memintanya melakukan satu tugas lagi.
Jika anak masih mengulangi aktivitas yang dilarang padahal membahayakan, peganglah sang anak dengan kuat untuk beberapa menit. Tatap matanya dan katakan Anda tidak mengijinkan tindakannya. Tetaplah konsisten. Anak-anak harus mengerti bahwa Anda serius untuk masalah yang berkaitan dengan keamanan.
Taktik Menghadapi Ledakan Emosi Kemarahan
Hal terpenting yang harus diingat tatkala berhadapan dengan seorang anak yang sedang marah, tidak peduli apa sebabnya, adalah tetap bersikap tenang. Jangan memperparah keadaan dengan rasa frustasi Anda. Anak-anak bisa merasakan saat orangtua mereka menjadi frustasi. Hal ini bisa membuat frustasi mereka menjadi lebih parah. Tarik nafas dalam-dalam dan cobalah untuk berpikir lebih jernih. Anak Anda meniru teladan Anda. Memukul anak tidaklah membantu dalam situasi seperti ini; karena anak akan menangkap pesan bahwa kita bisa menyelesaikan masalah dengan pukulan. Milikilah kontrol diri yang cukup.
Pertama, coba pahami apa yang sedang terjadi. Ledakan emosi kemarahan harus ditangani secara tersendiri tergantung dari penyebabnya. Cobalah untuk mengerti penyebabnya. Misalnya ketika anak Anda sedang mengalami kekecewaan besar, Anda perlu berempati dengannya sebelum mengarahkan tindakan dan sikap selanjutnya.
Situasinya akan berbeda saat menghadapi ledakan emosi dari seorang anak yang mengalami penolakan. Sadarilah bahwa anak kecil belum memiliki kemampuan untuk menjelaskan suatu alasan dengan baik, sehingga Anda mungkin tidak menerima penjelasan yang memuaskan. Mengabaikan ledakan amarah mereka adalah satu cara untuk menangani hal ini dengan catatan ledakan emosi ini tidak membahayakan anak Anda ataupun orang lain. Lanjutkan saja aktivitas Anda setelah memberikan perhatian sesaat, biarkan ia berkutat sendiri dengan perasaannya namun masih dalam jarak pandangan Anda. Jangan tinggalkan anak kecil Anda sendirian, bila tidak, dia akan merasa ditinggalkan dengan emosi yang masih belum terkontrol. Ingat cara ini tidak selalu berhasil namun untuk kasus ringan bisa jadi sangat membantu.
Nah ceritanya akan sangat berbeda jika anak-anak yang sedang marah tersebut berada dalam bahaya karena menyakiti dirinya sendiri atau orang lain. Sebaiknya anak ini dibawa ke tempat yang tenang dan aman untuk ditenangkan. Hal ini juga berlaku untuk ledakan emosi yang terjadi di tempat umum.
Anak-anak yang lebih besar cenderung memanfaatkan ledakan emosi untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Apalagi jika mereka telah mengetahui taktik ini berhasil sebelumnya. Jika anak-anak tersebut telah bersekolah, adalah pantas untuk meminta mereka ke kamar mereka untuk menenangkan diri dan memikirkan perilakunya. Ketimbang menggunakan batasan waktu tertentu, orangtua bisa meminta mereka tetap berada di kamar hingga mereka telah bisa mengendalikan diri. Ini adalah pilihan untuk penguasaan di mana anak belajar untuk mengendalikan diri dengan tindakan mereka.
Setelah Badai Kemarahan
Terkadang seorang anak mengalami kesulitan menghentikan kemarahannya. Dalam kasus ini, kita bisa bantu mereka dengan berkata “Saya akan membantu menenangkanmu sekarang”. Tapi jangan beri penghargaan kepada anak Anda setelah kemarahannya dengan mengalah. Hal ini hanya akan membuktikan kepada anak Anda bahwa ledakan emosi adalah efektif untuk memaksakan kehendaknya. Sebagai gantinya, puji anak Anda atas keberhasilannya mengendalikan diri.
Setelah kemarahan, anak juga menjadi peka ketika mereka mengetahui bahwa mereka tidak lagi berlaku manis. Nah inilah saat yang tepat untuk memeluk mereka dan meyakinkan bahwa mereka tetap dicintai tanpa syarat.
sumber : www.sekolahorangtua.com

Selengkapnya..

8.15.2009

PENYEBAB KESULITAN MAKAN


Penyebab kesulitan makanan itu sangatlah banyak. Semua gangguan fungsi organ tubuh dan penyakit bisa berupa adanya kelainan fisik, maupun psikis dapat dianggap sebagai penyebab kesulitan makan pada anak. Kelainan fisik dapat berupa kelainan organ bawaan atau infeksi bawaan sejak lahir dan infeksi didapat dalam usia anak.
Secara umum penyebab umum kesulitan makan pada anak dibedakan dalam 3 faktor, diantaranya adalah hilang nafsu makan, gangguan proses makan di mulut dan pengaruh psikologis. Beberapa faktor tersebut dapat berdiri sendiri tetapi sering kali terjadi lebih dari 1 faktor. Penyebab paling sering adalah hilangnya nafsu makan, diikuti gangguan proses makan. Sedangkan faktor psikologis yang dulu dianggap sebagai penyebab utama, mungkin saat mulai ditinggalkan atau sangat jarang.

GANGGUAN NAFSU MAKAN
Gangguan nafsu makan tampaknya merupakan penyebab utama masalah kesulitan makan pada anak. Pengaruh nafsu makan ini bisa mulai dari yang ringan (berkurang nafsu makan) hingga berat (tidak ada nafsu makan). Tampilan gangguan nafsu makan yang ringan berupa minum susu botol sering sisa, waktu minum ASI berkurang (sebelumnya 20 menit menjadi 10 menit), makan hanya sedikit atau mengeluarkan, menyembur-nyemburkan makanan atau menahan makanan di mulut terlalu lama. Sedangkan gangguan yang lebih berat tampak anak menutup rapat mulutnya, menepis suapan orang tua atau tidak mau makan dan minum sama sekali.
Gangguan nafsu makan ini sering diakIbatkan karena gangguan saluran cerna, penyakit infeksi akut atau kronis (TBC, cacing, dll), alergi makanan, intoleransi makanan dan sebaginya.


Gangguan pencernaan tersebut kadang tampak ringan seperti tidak ada gangguan. Tanda dan gejala yang menunjukkan adanya gangguan pencernaan adalah perut kembung, sering “cegukan”, sering buang angin, sering muntah atau seperti hendak muntah bila disuapin makan. Gampang timbul muntah terutama bila menangis, berteriak, tertawa, berlari atau bila marah. Sering nyeri perut sesasaat, bersifat hilang timbul. Sulit buang air besar (bila buang air besar ”ngeden”, tidak setiap hari buang air besar, atau sebaliknya buang air besar sering (>2 kali/perhari). Kotoran tinja berwarna hitam atau hijau, berbentuk keras, bulat (seperti kotoran kambing) atau cair disertai bentuk seperti biji lombok, pernah ada riwayat berak darah. Gangguan tidur malam : malam rewel, kolik, tiba-tiba mengigau atau menjerit, tidur bolak balik dari ujung ke ujung lain tempat tidur. Lidah tampak kotor, berwarna putih serta air liur bertambah banyak atau mulut berbau
Biasanya disertai gangguan kulit : timbal bintik-bintik kemerahan seperti digigit nyamuk atau serangga, biang keringat, kulit berwarna putih (seperti panu) di wajah atau di bagian badan lainnya dan sebagainya.
Tanda dan gejala tersebut di atas sering dianggap biasa oleh orang tua bahkan banyak dokter atau klinisi karena sering terjadi pada anak. Padahal bila di amati secara cermat tanda dan gejala tersebut merupakan manifestasi adanya gangguan pencernaan, yang mungkin berkaitan dengan kesulitan makan pada anak.

GANGGUAN PROSES MAKAN DI MULUT
Proses makan terjadi mulai dari memasukkan makan dimulut, mengunyah dan menelan. Ketrampilan dan kemampuan sistem pergerakan motorik kasar di sekitar mulut sangat berperanan alam proses makan tersebut. Pergerakan morik tersebut berupa koordinasi gerakan menggigit, mengunyah dan menelan dilakukan oleh otot di rahang atas dan bawah, bibir, lidah dan banyak otot lainnya di sekitar mulut. Gangguan motorik mulut ini juga sering disertai oleh gangguan tergigit sendiri bagian bibir atau lidah secara tidak sengaja. Gangguan proses makan ini sering terjadi pada penderita gangguan saluran pencernaan seperti sering muntah, nyeri perut dan mual. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan teori ”Gut Brain Axis”. Gangguan saluran cerna ternyata dapat mengganggu susunan saraf pusat termasuk gangguan motorik kasar mulut.
Gerakan motorik kasar di sekitar mulut tersebut sangat dipengaruhi oleh susunan saraf pusat. Gangguan susunan saraf pusat tersebut dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gangguan ini sering terjadi pada penderita alergi, gangguan neurologis, penderita Autism, ADHD, ADD, dan gangguan perilaku lainnya.
Gangguan motorik proses makan ini biasanya disertai oleh gangguan motorik kasar lainnya seperti terlambat bolak-balik (normal usia 4 bulan), terlambat duduk merangkak (normal 6-8 bulan), jalan jinjit, duduk bersimpuh leter “W”, terlambat berjalan, sering jatuh atau menabrak. Ciri lainnya biasanya disertai gejala anak tidak bisa diam, mulai dari overaktif hingga hiperaktif.
Kelainan bawaan adalah gangguan fungsi organ tubuh atau kelainan anatomis organ tubuh yang terjadi sejak pembentukan organ dalam kehamilan.Diantaranya adalah kelainan mulut, tenggorok, dan esofagus: sumbing, lidah besar, tenggorok terbelah, fistula trakeoesofagus, atresia esofagus, Laringomalasia, trakeomalasia, kista laring, tumor, tidak ada lubang hidung, serebral palsi, kelainan paru, jantung, ginjal dan organ lainnya sejak lahir atau sejak dalam kandungan.
Bila fungsi otak tersebut terganggu maka kemampuan motorik untuk makan akan terpengaruh. Gangguan fungsi otak tersebut dapat berupa infeksi, kelainan bawaan atau gangguan lainnya seperti serebral palsi, miastenia gravis, poliomielitis.. Bila kelainan susunan saraf pusat ini terjadi karena kelainan bawaan sejak lahir biasanya disertai dengan gangguan motorik atau gangguan perilaku dan perkembangan lainnya.

GANGGUAN PSIKOLOGIS
Gangguan psikologis dahulu dianggap sebagai penyebab utama kesulitan makan pada anak. Tampaknya hal ini terjadi karena dahulu kalau kita kesulitan dalam menemukan penyebab kesulitan makan pada anak maka gangguan psikologis dianggap sebagai diagnosis keranjang sampah untuk mencari penyebab kesulitan makan pada anak. Untuk memastikan gangguan psikologis sebagai penyebab utama kesulitan makan pada anak harus dipastikan tidak adanya kelainan organik pada anak.
Gangguan pskologis bisa dianggap sebagai penyebab bila kesulitan makan itu waktunya bersamaan dengan masalah psikologis yang dihadapi. Bila faktor psikologis tersebut membaik maka gangguan kesulitan makanpun akan membaik. Untuk memastikannya kadang sulit, karena dibutuhkan pengamatan yang cermat dari dekat dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Karenanya hal tersebut hanya mungkin dilakukan oleh orang tua bekerjasama dengan psikater atau psikolog.
Pakar psikologis menyebutkan sebab meliputi gangguan sikap negatifisme, menarik perhatian, ketidak bahagian atau perasaan lain pada anak, kebiasaan rewel pada anak digunakan sebagai upaya untuk mendapatkan yang sangat diinginkannya, sedang tertarik permainan atau benda lainya, meniru pola makan orang tua atau saudaranya reaksi anak yang manja.
Beberapa aspek psikologis dalam hubungan keluarga, baik antara anak dengan orang tua, antara ayah dan ibu atau hubungan antara anggota keluarga lainnya dapat mempengaruhi kondisi psikologis anak. Misalnya bila hubungan antara orang tua yang tidak harmonis, hubungan antara anggota keluarga lainnya tidak baik atau suasana keluarga yang penuh pertentangan, permusuhan atau emosi yang tinggi akan mengakibatkan anak mengalami ketakutan, kecemasan, tidak bahagia, sedih atau depresi. Hal itu mengakibatkan anak tidak aman dan nyaman sehingga bisa membuat anak menarik diri dari kegiatan atau lingkungan keluarga termasuk aktifitas makannya
Sikap orang tua dalam hubungannya dengan anak sangat menentukan untuk terjadinya gangguan psikologis yang dapat mengakibatkan gangguan makan. Beberapa hal tersebut diantaranya adalah : perlindungan dan perhatian berlebihan pada anak, orang tua yang pemarah, stress dan tegang terus menerus, kurangnya kasih sayang baik secara kualitas dan kuantitas, urangnya pengertian dan pemahaman orang tua terhadap kondisi psikologis anak, hubungan antara orang tua yang tidak harmonis, sering ada pertengkaran dan permusuhan.

Dr Widodo Judarwanto SpA Jakarta

Selengkapnya..

6.27.2009

Si Kecil Ogah Belajar Pipis di Toilet


Usia si kecil sudah 2 tahun sehingga Anda merasa sudah saatnya melaksanakan toilet training (latihan menggunakan kamar mandi untuk buang air). Sejak diajarkan untuk buang air kecil di kamar mandi, anak memang sudah tidak menggunakan diapers dari pagi hingga sore hari karena ia sudah bisa menyampaikan kepada Anda bahwa ia ingin pipis. Kemampuannya mengontrol keinginan buang air pun cukup baik. Sayangnya, pada malam hari, si kecil masih mau memakai diapers. Mungkin karena minumnya banyak, dan selain itu Anda juga tidak ingin repot bangun tengah malam untuk menggotong si kecil ke kamar mandi. Gagallah toilet training yang Anda terapkan.
Mungkin, banyak ibu lain yang memiliki keluhan sama seputar kegagalan mereka menerapkan toilet training. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Berikut penjelasannya:

1. Terlalu awal memulai
Idealnya, toilet training dimulai ketika anak telah memasuki usia 2 tahun. Bila Anda terburu-buru memulai sebelum waktunya, maka boleh jadi kegagalan yang didapat. Waktu yang dibutuhkan bisa lebih lama dan berat sekali saat harus melaksanakan program tersebut. Anda perlu mengamati tanda-tanda kesiapannya, baik secara fisik, kognitif, maupun perilaku. Tanda-tanda tersebut biasanya sudah terlihat ketika anak memasuki usia 18 bulan sampai 2 tahun. Bahkan, sebagian ada yang baru menunjukkan tanda-tanda ketika memasuki usia 4 tahun. Patut diingat, anak memiliki kemampuan dan kesiapan yang berbeda, tidak bisa disamaratakan. Jadi, jangan kecewa bila mendapati keponakan, anak teman atau tetangga dapat lebih awal memiliki kemampuan mengontrol buang air dibandingkan anak sendiri.
Sedikitnya, untuk menerapkan toilet training dibutuhkan waktu 3 bulan. Dituntut kesabaran dan sportivitas bila Anda gagal menerapkan dalam waktu di atas itu. Ini dapat dijadikan pertanda bahwa anak Anda belum siap. Tunggulah beberapa minggu dan mulailah untuk mencoba kembali.


2. Memulai di waktu yang tidak tepat
Hindari memulai toilet training pada saat yang tidak tepat, seperti seminggu sebelum kelahiran adik bayi, baru ganti pengasuh, pindah rumah, atau hal-hal yang berkaitan dengan rutinitas anak. Prasekolah biasanya memiliki rutinitas tertentu dalam kesehariannya. Ketika terjadi perubahan, maka si prasekolah butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan rutinitas baru tersebut. Untuk itu, hindari melakukan toilet training pada waktu-waktu tersebut. Tunggulah sampai anak dapat beradaptasi sebelum toilet training dimulai.
3. Jangan pernah memaksa
Ketika si kecil sudah menunjukkan tanda-tanda kesiapan dan tertarik untuk memulai toilet training, jangan paksa ia untuk segera melaksanakan secepat mungkin. Bisa-bisa si anak malah mengalami stres yang ditandai dengan tidak bisa buang air besar (konstipasi). Untuk itu, biarkan si kecil mengikuti iramanya, dan menjalani program toilet training setahap demi setahap. Tindakan paling bijaksana adalah tetap memberikan motivasi. Namun, ketika anak mogok, jangan sekali-sekali dipaksakan.
4. Hindari sekadar ikut-ikutan
Jangan terpengaruh cerita kenalan atau saudara tentang keberhasilan program toilet training yang diterapkan pada anaknya. Setiap anak adalah unik. Tidak mungkin menyamaratakan perkembangan semua anak sehingga memukul rata usia tepat melakukan toilet training. Langkah paling bijaksana adalah menunggu kesiapan anak. Sampaikan saja kepada kenalan, teman, atau saudara, “Kami telah memiliki rencana sendiri tentang program toilet training.”
5. Hindari memberikan hukuman
Jangan sekali-kali memberikan hukuman kepada si prasekolah ketika gagal melakukan toilet training. Bisa jadi hukuman yang diberikan terasa memberatkan dan membuatnya trauma. Akibatnya, anak tidak mau memulai kembali toilet training karena teringat akan hukuman yang diberikan. Harus diingat, setiap anak berbeda sehingga dituntut kesabaran dan kecermatan orangtua.
6. Tidak konsisten
Ketika memutuskan untuk melaksanakan toilet training hendaknya orangtua mampu bersikap konsisten. Laksanakan latihan itu saat siang dan malam hari. Memang, tidak bisa langsung serentak, tapi diawali dengan kesuksesan melaksanakan di siang hari, lalu dilanjutkan pada malam hari. Dituntut ketegasan dan kerelaan orangtua untuk membangunkan anak untuk BAK di kamar mandi, atau sekadar menggunakan potty training di kamar tidur.
(Utami Sri Rahayu)


Selengkapnya..

6.21.2009

Ciri-Ciri Anak Berbakat


Dalam bukunya, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah, Prof. Utami Munandar menuliskan indikator keberbakatan sebagai berikut:

* Ciri-ciri Intelektual/Belajar:
Mudah menangkap pelajaran, ingatan baik, perbendaharaan kata luas, penalaran tajam (berpikir logis-kritis, memahami hubungan sebab-akibat), daya konsentrasi baik (perhatian tak mudah teralihkan), menguasai banyak bahan tentang berbagai topik, senang dan sering membaca, ungkapan diri lancar dan jelas, pengamat yang cermat, senang mempelajari kamus maupun peta dan ensiklopedi.
Cepat memecahkan soal, cepat menemukan kekeliruan atau kesalahan, cepat menemukan asas dalam suatu uraian, mampu membaca pada usia lebih muda, daya abstraksi tinggi, selalu sibuk menangani berbagai hal.

* Ciri-ciri Kreativitas:
Dorongan ingin tahunya besar, sering mengajukan pertanyaan yang baik, memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah, bebas dalam menyatakan pendapat, mempunyai rasa keindahan, menonjol dalam salah satu bidang seni, mempunyai pendapat sendiri dan dapat mengungkapkannya serta tak mudah terpengaruh orang lain, rasa humor tinggi, daya imajinasi kuat, keaslian (orisinalitas) tinggi (tampak dalam ungkapan gagasan, karangan, dan sebagainya.
Dalam pemecahan masalah menggunakan cara-cara orisinal yang jarang diperlihatkan anak-anak lain), dapat bekerja sendiri, senang mencoba hal-hal baru, kemampuan mengembangkan atau memerinci suatu gagasan (kemampuan elaborasi).

* Ciri-ciri Motivasi:
Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu lama, tak berhenti sebelum selesai), ulet menghadapi kesulitan (tak lekas putus asa), tak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi, ingin mendalami bahan/bidang pengetahuan yang diberikan, selalu berusaha berprestasi sebaik mungkin (tak cepat puas dengan prestasinya), menunjukkan minat terhadap macam-macam masalah "orang dewasa" (misalnya terhadap pembangunan, korupsi, keadilan, dan sebagainya).
Senang dan rajin belajar serta penuh semangat dan cepat bosan dengan tugas-tugas rutin, dapat mempertahankan pendapat-pendapatnya (jika sudah yakin akan sesuatu, tak mudah melepaskan hal yang diyakini itu), mengejar tujuan-tujuan jangka panjang (dapat menunda pemuasan kebutuhan sesaat yang ingin dicapai kemudian), senang mencari dan memecahkan soal-soal.

Indah Mulatsih

Selengkapnya..

6.18.2009

Bayi Belajar Bicara di dalam Rahim


Selama bayi di dalam rahim, ajaklah ia berbicara. Dengan aktif mengajaknya berbicara, bayi tidak hanya mengenali suara ibu tapi juga mempelajari bahasa yang kita gunakan.

Kesimpulan itu didapat pada penelitian Effects of Experience on Fetal Voice Recoqnition yang memainkan rekaman puisi China selama 2 menit, terhadap 60 perempuan hamil. Selama rekaman diputar, detak jantung bayi yang masih di dalam rahim juga dipantau untuk melihat bagaimana bayi bereaksi.

Pada saat bayi mendengar suara ibunya, ritme jantungnya sangat aktif. Sedangkan ketika rekaman puisi dengan suara orang lain diputar, ritme jantung melambat. Para peneliti mengartikan ritme jantung sebagai reaksi bayi terhadap apa yang mereka dengar.
Ketika ritmenya menjadi aktif, bayi memberikan perhatian penuh terhadap kata-kata ibu. Kata-kata ini kemudian dipelajari untuk kemudian direkam dalam memori mereka sebagai kemampuan dasar untuk berbicara.

Untuk itu, nikmati proses mengandung dengan aktif mengajak bayi berbicara. Tapi pilihlah cara berbicara yang bersahabat agar tersimpan dalam memori anak, indahnya ketika berinteraksi dengan orang tuanya.

(Siagian Priska)


Sumber : Prevention Indonesia
www.kompas.com

Selengkapnya..

5.29.2009

Persepsi Orangtua Menentukan Masa Depan Anak



Deni kecil berlari-lari menolak makanan yang hendak disuapkan ke mulutnya. Mamanya mengejar di belakangnya sambil berteriak,"Deni ayo makan ini sudah malam lho. Kamu nanti lapar. Mama masih banyak kerjaan yang lain nih!" Dari nadanya bisa tergambar perasaan putus asa dan tak tahu harus berbuat apa. Perasaan jengkel, marah, letih dan tak berdaya tercermin dalam tindakan dan perkataan sang mama. Si Deni dengan acuhnya berlarian kesana kemari.

Tak lama kemudian datanglah Ferry, kakak Deni, yang sudah duduk di bangku SMP. Sambil melemparkan tasnya ke sofa ia menuju lemari es dan meneguk minuman yang ada di sana. Setelah itu ia melepas sepatu dan kaos kakinya dan membiarkannya tergeletak begitu saja di depan lemari es. Lalu menuju ke kamarnya dan berteriak, "Mbak ambilkan makan dong. Lapar nih!"

Jika anda yang menghadapi peristiwa di atas apa yang akan anda lakukan? Apakah anda akan langsung menghardik mereka? Atau apakah anda akan memukul mereka karena sudah tidak tahan lagi dengan tingkah lakunya? Ataukah anda akan langsung memanggilnya dan memarahi mereka? Atau mungkin anda akan bertanya dengan lembut pada mereka apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka dan kemudian membantu mereka mencari solusinya?

Tidak begitu penting apa tindakan anda. Yang paling penting di sini adalah mencari tahu apa penyebab utama anda melakukan tindakan tersebut. Tidak penting apakah anda marah atau menanyainya dengan lembut. Yang penting adalah pemikiran dibalik tindakan tersebut. Inilah yang mengontrol diri anda selama ini. Pemikiran inilah yang melatarbelakangi tindakan anda mendidik dan mengasuh anak-anak. Kita menyebutnya dengan persepsi.

Darimanakah persepsi timbul? Persepsi timbul dari serangkaian pemikiran-pemikiran yang mengkristal. Pemikiran ini timbul dari beragam pengalaman yang mengesankan. Semua pengalaman kita di masa kecil akan menjadi pijakan dasar. Dari sinilah kita kemudian mengembangkan pemikiran yang lebih kompleks.

Pengalaman bagaimanakah yang akan membentuk pemikiran? Semua pengalaman yang kita alami dalam kehidupan kita. Apa yang kita dengar, apa yang kita lihat dan apa yang kita alami di masa kecil akan mempengaruhi pemikiran kita. Pemikiran awal ini kemudian kita bawa dalam pergaulan remaja dan dewasa. Dan akhirnya menjadikan kita seperti sekarang ini.

Setelah kita mempunyai anak maka kita akan beroperasi dengan pemikiran yang sudah melekat dalam diri kita. Pemikiran inilah yang menjadi dasar setiap tindakan kita. Pemikiran ini menjadi persepsi.

Satu hal yang kebanyakan orang tidak sadari adalah persepsi ini bisa mengunci pemikiran kita. Persepsi ini menjadi koridor pemikiran kita. Ia memerangkap kita di dalamnya. Sebaik-baiknya kemampuan berpikir kita jika persepsi awalnya salah maka tidak akan menemui jawaban yang kita inginkan.

Ambil contoh seorang anak yang sedang disuapi makan berlarian kesana kemari. Jika persepsi awal kita mengatakan bahwa anak ini nakal, makannya rewel, tidak menghargai waktu saya dan berbagai persepsi awal negatif lainnya maka tindakan kita akan negatif juga. Marah misalnya. Atau mengatakan sesuatu yang nadanya jengkel, misal "Ayo cepat! Mama kan masih ada pekerjaan lain bukan urusi kamu saja!", anak merasa dirinya tidak penting, ia merasa dirinya tidak bisa memenuhi harapan orangtuanya, tetapi ia memang tidak ingin makan. Akhirnya anak mengalami konflik diri yang tidak kentara dan harga dirinya menjadi terkontaminasi. Atau "Kalau lari-lari seperti itu Mama tidak akan suapi kamu lagi!". Kenyataannya adalah besok ia disuapi lagi. Orangtua menjadi tidak konsisten di mata anak.

Tetapi jika persepsi awal kita adalah positif misalnya,"Saya harus membantunya mengerti mengapa ia perlu makan sekarang", atau "Ia adalah seorang anak yang perlu dimengerti" maka tindakan berikutnya bagi kita bisa sangat berbeda. Mungkin kita akan menanyainya dengan penuh perhatian mencari sebab mengapa ia berlarian ketika disuapi makan. Akibatnya adalah si anak merasa diperhatikan dan dimengerti. Ia bisa merasa diterima sehingga harga dirinya berkembang sehat.

Dari contoh tersebut jelaslah bahwa persepsi mengarahkan tindakan kita. Dan tindakan kita akhirnya memicu reaksi dari anak. Reaksi dari anak akan memicu pemikiran tertentu. Dan pemikiran ini akan membentuk persepsi anak tentang dirinya sendiri. Akhirnya konsep diri anak terbentuk. Bisakah anda melihat peranan anda sebagai orangtua sangat besar dalam membentuk konsep diri anak anda? Tahukah anda bahwa konsep diri inilah yang akan menentukan masa depannya kelak?

Orangtua, dalam tingkat tertentu yang signifikan, ikut menentukan masa depan dan nasib seorang anak melalui sikap dan tindakan mereka kepada anaknya. Sebagai orangtua kita sangat berkewajiban untuk mengembangkan kontrol diri dan kesadaran yang sangat tinggi melalui upaya pembelajaran terus menerus sehingga kita sanggup memberikan teladan dan contoh terbaik bagi anak-anak kita. Ibarat pohon dan buah, kita orangtua adalah akar yang menentukan kualitas buah seperti apa yang akan kita hasilkan. Jika sebagai akar kita tidak mampu menyerap nutrisi di sekitar kita dan tidak mampu menyalurkannya ke batang pohon maka buah di atas sana tidak akan berkembang dengan baik.

Sebagai orangtua kita perlu mengembangkan diri untuk memperbaiki diri dengan cara mengontrol persepsi kita dan menelitinya kembali asal mula persepsi itu terbentuk dalam diri kita demi masa depan anak-anak kita.

Ariesandi S.,CHt
Pendiri Mathemagics dan Hypnoparenting Education
and Therapy Center serta online course
www.hypnoparenting.com


Selengkapnya..

4.13.2009

Menjadi Orangtua Sebagai Sebuah Keputusan


Memiliki anak bisa jadi merupakan suatu perubahan gaya hidup yang bisa sangat menekan. Dr. Phil, seorang ahli hubungan asal Amerika, menyarankan kedua calon orangtua untuk membuat suatu perubahan, dan mendorong Anda untuk belajar menjadi orangtua yang baik.

Menjadi orangtua merupakan suatu keputusan
Anda bisa saja mempersiapkan diri untuk menghadapi kehadiran si kecil. Ketahuilah sejak dini, bahwa pada suatu titik, keinginan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab dan tugas menjadi orangtua bisa mendera atau tiba-tiba datang. Sambutlah tantangan yang hadir bersamaan dengan kedatangan Si Buah Hati, jangan dilawan. Buka hati Anda, dan nikmati.

Tukar prioritas
Sekarang hidup sudah tak hanya melulu tentang Anda. Anda memiliki peran penting sebagai pelindung anak Anda. Buatlah keputusan bahwa anak Anda akan memiliki orangtua yang selalu ada dan bertanggung jawab akan seluruh kebutuhannya.

Kehadiran kedua orangtua
Masing-masing orangtua memiliki peran penting terhadap perkembangan anak. Meski ibu memiliki peran lebih primer terhadap hidup anak, namun ayah pun perlu mengekspansi definisi tipe ayah seperti apakah dirinya, dan tipe hubungan apa yang akan dilakukannya dengan anak. Menurut Akademi Kedokteran Anak di Amerika, anak butuh keterlibatan ayah dalam pertumbuhannya. Ketika sang ayah hadir dan mengasuh anaknya, anak akan memiliki emosi lebih baik dan lebih memiliki kehidupan sosial lebih baik. Ditambah lagi, anak akan memiliki kemampuan beradaptasi dan menghadapi masalah lebih baik, lebih mampu menyelesaikan masalah, betah di sekolah, memiliki hubungan yang lebih lama, dan memiliki produktivitas lebih tinggi.

Role model paling berpengaruh dalam hidup anak adalah orangtua yang sama jenis
Amat penting bagi orangtua untuk memberi contoh yang baik bagi anak, karena di usia-usia awalnya anak akan menirukan orangtua dengan jenis kelamin sama. Kepribadian anak akan terbentuk sebagian besar di usia 5 tahun. Anak akan menirukan intonasi suara, juga apakah si orangtua akan menghabiskan waktu berkualitas dengannya. Anak akan merasakan apakah ia spesial atau tidak dari perlakuan yang diberikan kedua orangtua, khususnya dari orangtua yang berkelamin sama dengannya.

Hidup adalah tentang keputusan-keputusan
Pertimbangkan. Ketika Anda memutuskan untuk memilih sesuatu, akan ada harga yang harus dibayar di sisi lainnya. Jika Anda memilih untuk memprioritaskan kehidupan di rumah, maka akan ada pengorbanan di kehidupan profesional dan sosial. Begitu pula ketika Anda memutuskan lebih banyak bekerja, maka kehidupan rumah tangga Anda terancam untuk kekurangan perhatian.

Tinggalkan masa lampau
Entah seberapa sakitnya hati Anda akan situasi yang pernah Anda alami di masa lalu, jangan menyeret masalah tersebut ke dalam gaya hidup baru Anda bersama keluarga baru. Sembuhkan luka tersebut, tutup, atau hal itu bisa mengkontaminasi kehidupan Anda yang baru.

Buat deposito emosional
Manusia adalah seperti rekening bank. Jika apa yang kita lakukan adalah menarik uang terus menerus, maka kita akan berakhir bangkrut secara emosional. Anda tak dapat membuang-buang apa yang Anda tak punya. Jika Anda secara emosional tidak siap untuk Anda, berarti Anda sudah curang kepadanya. Rawatlah diri Anda fisik dan emosional, sebagai hadiah untuk anak Anda.

Anak-anak melakukan apa yang mereka lihat
Jika anak-anak sering terekspos terhadap stres, tekanan, frustasi, atau kemarahan, mereka akan merefleksikannya terhadap kehidupan sehari-hari di dalam diri maupun di lingkungannya. Mereka melakukan segala hal yang ia lihat dan pelajari di sekelilingnya.

Jadikan hubungan suami-istri prioritas
Titipkan anak kepada orang yang dipercaya untuk satu malam yang istimewa untuk Anda dan pasangan. Hubungan harmonis di antara kedua orangtua adalah hadiah terindah untuk anak.

Bekerja sama dengan suami
Mengasuh anak sama melelahkannya seperti menangani tugas lainnya, misalnya merawat rumah. Jika Anda melihat suami yang sejak tadi merawat Si Kecil mulai kelelahan, biarkan ia istirahat. Atau ketika Anda kelelahan menjaga Si Kecil, minta dengan sopan agar suami mau menggantikan sebentar. Jadilah sebuah tim yang saling mendukung.


Sumber : dr. phil


Selengkapnya..

4.06.2009

SI KECIL NGOTOT PERTAHANKAN YANG SALAH


Satu lagi "ulah" si kecil di usia ini yang kerap bikin kita jengkel. Betapa tidak, ia tahu baju yang dipakainya warna merah, misal, tapi dibilangnya putih. Ketika diberi tahu, "Bukan putih, Nak, tapi merah.", eh, ia malah ngotot, "Putih, Ma!" Coba, siapa yang enggak jengkel? Sudah gitu, ia pakai senyum-senyum segala seolah ngeledek. Tambah bikin dongkol, kan? Hingga tak jarang kita terpancing memarahi sikapnya yang nyeleneh itu.
Padahal, menyalah-nyalahkan yang benar dan membenar-benarkan yang salah semacam ini, terang Indri Savitri, merupakan hal wajar alias normal dalam dunia batita. Soalnya, pada anak usia 2-4 tahun, pola perilaku yang mengarah negativisme seperti itu masih amat menonjol, bahkan merupakan bagian dari proses perkembangannya. "Waktu bayi, ia, kan, sama sekali tak berdaya. Ia sangat tergantung pada pengasuh maupun ibunya karena segala hal masih harus diladeni dan dibantu. Seiring pertambahan usia, ia pun makin berkembang dan selalu mencoba cari tahu dengan mengeksplorasi apa saja yang ada di sekitarnya. Nah, dalam rangka bereksplorasi inilah, ia menggunakan caranya sendiri yang antara lain lewat negativisme," paparnya.
Pantas saja, ya, Bu-Pak, si kecil jadi berperilaku demikian. Bukan cuma itu, lo. Masih dalam rangka bereksplorasi, menurut Indri, si kecil di usia ini juga cenderung "ngerjain" atau memancing kemarahan orang lain, terutama orang tua dan saudara kandungnya. Ia ingin tahu bagaimana kalau ibunya marah, misal. "Meski tak semua memperlihatkan kecenderungan ini, namun pada dasarnya batita senang melihat hal-hal yang berbeda atau merasakan pengalaman yang lain," terang psikolog dari LPT UI ini.
TINGGALKAN BAHASA BAYI
Sebenarnya, perilaku ini bisa diminimalisir, kok. Maksudnya, kita bisa mencegah agar si kecil tak kelewat terpancing untuk menyalah-nyalahkan yang benar dan membenar-benarkan yang salah. Caranya, jangan ajari si kecil berbicara dengan menggunakan bahasa bayi semisal "cucu" untuk "susu", "wawo" untuk "baso", "emen" untuk "permen", dan sebagainya.
Logikanya, tutur Indri, "anak tak akan pernah berusaha belajar dan menerapkan yang benar jika dibiasakan pada yang salah."
Nah, bila Ibu-Bapak kerap menggunakan bahasa bayi saat berbicara dengan si kecil, mulai saat ini harus diubah, ya. Tentu "kesalahan" si kecil juga harus diperbaiki namun tanpa dibarengi emosi dan nada tinggi, lo. Lama-lama ia pun akan paham, kok. Tapi kita pun harus pula melihat perkembangan dan kematangannya. Maksudnya, bila si kecil usia 1,5 tahun, masih bisa diterima jika belum jelas melafalkan kata-kata tertentu yang belum akrab dengan kebutuhan fungsionalnya. Namun kita tetap mengarahkannya untuk mengucapkan kata-kata itu secara benar.
Bila usianya 3 tahun dan masih menggunakan bahasa bayi, kita harus mencermati sekaligus mencarikan ahli dan jalan keluarnya. Pasalnya, di usia ini ia seyogyanya sudah punya sekian banyak perbendaharaan kata dan mampu menyusun kalimat sederhana, serta mengucapkannya dengan lafal yang benar. Kecuali anak cadel bawaan seumur hidup karena lidahnya pendek, misal.

JANGAN TERPANCING
Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah ini? Saran Indri, terangkan saja apa adanya sesuai bahasa anak dengan pengucapan yang benar. Misal, "Ini baju merah, Nak." Gunakan pula alat bantu semisal pensil warna, crayon, atau spidol untuk membantu si kecil memahami warna secara benar. Kita bisa pula memanfaatkan benda-benda berwarna di sekitarnya agar ia makin mendalami pemahaman warna. Dengan cara ini, kita pun bisa sekaligus mendeteksi apakah ia buta warna atau tidak.
Bila ia tetap ngotot kendati sudah dijelaskan, "enggak perlulah orang tua ikut ngotot sampai main perintah hanya karena tak mau kalah." Cara begini, tutur Indri, justru bikin si kecil merasa "dijajah". Bukankah berarti ia harus selalu mengikuti pendapat kita sekalipun pendapat kita memang benar? Hati-hati, lo, dalam diri si kecil bisa terpupuk niat memberontak bila kita kerap bersikap layaknya seorang komandan yang selalu main perintah. Soalnya, makin dipaksa, makin ia menentang otoritas kita; ia makin tertantang membuktikan, "Aku juga bisa, kok, seperti Bunda." Buatnya, melakukan sesuatu yang baru semacam ini malah jadi kebanggaan tersendiri, lo.
Lebih baik, saran Indri pula, tanggapi dengan sedikit bergurau. Misal, "Ah, masa, sih, ini warna putih, Nak? Coba, deh, amati lagi." Tapi, jangan lantaran harus tetap mempertahankan selera humor, kita lantas memberinya perhatian berlebih semisal tertawa atau menganggapnya lucu. Soalnya, bila dianggap lucu, ia justru memperkuat perilaku buruk atau "kesalahan"nya tadi.
Bila ia masih juga ngotot, "lebih baik alihkan pada kegiatan lain yang lebih menarik, entah berjalan-jalan atau bermain bersama," anjur Indri. Cara ini juga bisa diterapkan bila kita tahu persis niat si kecil memang semata-mata ingin "ngeledek". "Ketimbang buang waktu dan energi, lebih baik cut saja deh dan alihkan pada aktivitas lain."
Bisa juga dengan memanfaatkan masa eksplorasi anak. Misal, "Coba, deh, Adek sebutkan yang warnanya merah itu apa saja, sih?" Dengan begitu, si kecil jadi berpikir mencari jawaban hingga wawasannya pun bertambah. Sementara kita pun tak terpancing untuk marah karena konflik terbuka dengan si kecil bisa dihindari.
Nah, enggak sulit, kan, Bu-Pak, mengatasi masalah ini?


Selengkapnya..

3.29.2009

Banyak Orangtua Abaikan Emosi Anak


Banyak orangtua dinilai masih mengabaikan emosi pada anak baik berupa rasa sedih, marah, dan bahagia sehingga tidak bisa terkelola dengan baik dan berdampak pada pembentukan mental emosionalnya.

"Orangtua masih banyak yang tidak menyadari emosi pada anak bahkan cenderung tidak peduli," kata pakar psikologi anak, Seto Mulyadi, di Padang, Jumat.

Seto Mulyadi atau yang akrab dipanggil Kak Seto hadir di Padang dalam rangka memberikan seminar tentang "Pengelolaan Emosi pada Anak" diikuti ratusan guru pendidikan anak usia dini (PAUD) dan orangtua di aula Kantor Gubernur Sumbar.

Menurut dia, banyak orangtua yang hingga kini mengabaikan dan bahkan cenderung mengabaikan emosi pada anak padahal hal tersebut akan berdampak buruk pada perkembangan emosinya.

"Ada orangtua yang tidak menyadari anaknya marah atau sedih dan cenderung tidak peduli, padahal anak ketika itu butuh perhatian," katanya.

Akibatnya, kata Seto anak akan tumbuh jadi tertutup dan tidak bisa mengelola emosinya dengan stabil.

Seto mengatakan pendidikan pada anak usia dini atau usia nol sampai lima tahun sangat penting karena pada periode itulah masa emas pembentukan otak dan kepribadian anak.

"Pada masa itu sangat penting bagi orangtua untuk memberikan pendidikan bagi pembentukan sel otak dan emosional pada anak untuk membentuk kepribadiannya," katanya.


Namun demikian, kata Seto, orangtua cenderung tidak menyadari dan mengabaikan masa tersebut, bahkan ada yang memberikan pendidikan tidak seimbang hanya membentuk kecerdasan intelektual saja dan mengabaikan kecerdasan emosional.

"Kini yang lebih berperan itu justru kecerdasan emosional dan spritual bukan kecerdasan intelektual saja," katanya.

Oleh karena itu, dia mengimbau orangtua untuk memperhatikan pendidikan anak, misalnya dengan memasukkannya pada lembaga PAUD.

Selain itu, orangtua juga diimbau lebih memberikan perhatian dan kasih sayang pada anak sehingga bisa membentuk untuk menjadi kepribadian yang utuh.


Sumber : KOMPAS.com

Selengkapnya..

3.24.2009

ANAK SUKA MEMUKUL

"Anak Anda akan memukul anak lain dan ia pun akan dipukul anak lain. Bagaimana Anda menyikapinya?"

"Bu, tadi Dita mukul Andi sampai nangis," lapor babysitter begitu Anggi pulang kerja. Kontan wajah Anggi memerah. Pasalnya, bukan sekali itu saja Dita, putrinya yang baru berusia 1,5 tahun, memukul temannya waktu bermain. Dan seperti biasa, Anggi segera menelepon orangtua Andi dan meminta maaf.
Seperti halnya Anggi, Anda pun mungkin malu ketika batita Anda memukul temannya. Kebanyakan orangtua merasa seperti itu, karena takut dianggap tak mampu mendidik anak dengan baik. Padahal, perilaku memukul, sebagaimana perilaku agresif lainnya seperti menggigit, menendang, mendorong, mencubit, dan melempar-lempar barang, menurut para ahli, wajar-wajar saja di usia batita. Apalagi jika hal itu dilakukan anak Anda yang baru berusia setahun. Ini karena ia belum mampu mengungkapkan perasaan-perasaannya maupun keinginan-keinginannya.
Seperti dikatakan psikolog Rahmitha P. Soendjojo, perilaku memukul biasanya muncul pada anak yang belum bisa berbicara atau baru mulai belajar bicara. "Perbendaharaan katanya masih sangat terbatas, sehingga memukul menjadi salah satu bahasa untuk menyatakan keinginannya maupun ketika ia merasa kurang nyaman atau tak aman," jelas Pjs. Manajer Komunikasi YKAI ini.
Perilaku memukul, menurut Rahmitha, juga bisa terjadi pada anak yang punya energi berlebihan. "Jika ia banyak dilarang sementara energinya tetap ada dan ia tak tahu cara menyalurkannya, akibatnya ia lalu memukul atau melakukan perilaku agresif lainnya," tutur lulusan Fakultas Psikologi Unpad ini. Begitu pula dengan anak-anak yang terluka, entah karena marah, kesal, kecewa, atau sedih, dan ia tak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan-perasaan itu.

DIJAUHI TEMAN
Dalam buku What to Expect the Toddler Years karya Einsenberg, Murkoff & Hathaway, dikatakan, banyak perilaku agresif anak usia ini berhubungan dengan frustrasi. Ini karena dalam diri mereka seringkali muncul konflik antara rasa percaya dan tak aman, keinginan mandiri dan ketergantungan, keinginan berkuasa dan keadaan tak berdaya. Dan, jangan lupa, anak usia ini memiliki rasa ingin tahu yang besar serta senang bereksperimen.
Bagaimanapun, kata Rahmitha, memukul atau perilaku agresif lainnya adalah reaksi alamiah ketika seseorang merasa kesal, marah, atau frustrasi. Begitu pula yang dialami batita Anda. Jadi, wajar saja bila ia memukul atau dipukul anak lain. Tapi bukan berarti Anda boleh mengijinkan ia memukul. Anda tetap tak boleh membiarkan ia memukul, hanya karena ia masih terlalu kecil untuk mengetahui hal yang baik. Memang, masih cukup sulit baginya untuk mengerti perbedaan benar dan salah, tapi ia sepenuhnya akan mengerti mana tingkah laku yang Anda inginkan dan mana tingkah laku yang Anda larang.
Lagipula, dengan membiarkan anak memukul, lama-lama ia tak mengenal cara lain untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya. Jika memukul akhirnya menjadi kebiasaan, ia akan dijauhi oleh teman-temannya yang berarti menghambat perkembangan sosialisasinya.
Jadi, apa yang harus kita lakukan jika anak memiliki "hobi" memukul?

KALAU IA MEMUKUL


Beri Arahan Singkat
Ketika ia hendak memukul, cepat pegang tangannya dan katakan, "Jangan memukul. Mama tak suka bila kamu memukul, karena itu sakit." atau, "Mama sayang kamu, tapi Mama tak senang bila kamu memukul." Kalimat-kalimat seperti ini cukup efektif untuk ia agar mendengar pengarahan Anda.
Alihkan Perhatiannya
Setelah Anda melarangnya memukul, segera alihkan perhatiannya dengan mengajak ia berpartisipasi dalam permainan lain tanpa konfrontasi. Dengan demikian, untuk sementara, ia dan temannya akan melakukan permainan baru satu sama lain dengan tenang.
Jangan Mempermalukan
Kata-kata yang Anda gunakan untuk membuat ia berhenti memukul dapat menjadi suatu kekuatan tersendiri. Jika Anda sampai mempermalukannya, Anda hanya akan membuat ia melawan dan bertindak defensif. Jangan berkata, "Kamu memang anak nakal!" tapi katakan, "Mama tak suka bila kamu memukul Jodi."
Bersikap Konsekuen
Jika ia kembali memukul, bertindaklah tegas dan konsekuen. Ia harus menghentikan permainannya, entah dengan menyuruhnya duduk di sebelah Anda tanpa aktivitas untuk beberapa saat, atau ajak ia pulang jika saat itu ia bermain di rumah temannya. Katakan padanya, "Kamu tidak bermain baik sama sekali. Kamu gampang sekali memukul teman. Teman-temanmu tidak menyukaimu lagi jika kamu suka memukul."

Time-out
Ini cara yang baik untuk mengatasi dorongan memukul, tapi bukan merupakan tindakan hukuman. Ini merupakan satu cara untuk mengendalikan emosi anak, agar ia melihat apa yang salah dan bagaimana memperbaikinya. Tapi jangan gunakan time-out untuk menguliahinya. Petuah diberikan setelah time-out selesai dan ia sudah mulai tenang.
Selamatkan Korban
Jika anak lain sampai menangis karena dipukul anak Anda, segera pusatkan perhatian pada anak itu dan hiburlah daripada menegur anak Anda. Jika anak Anda menyerang, pisahkan anak lain itu dengan aktivitas lain, lalu tenangkan anak Anda. Dengan nada rendah dan tanpa kemarahan, jelaskan secara ringkas bahwa memukul adalah perilaku yang tak dapat diterima dan mengapa hal itu tak boleh dilakukannya. Misalnya, Anda dapat mengatakan, "Kamu menyakiti Andi ketika kamu memukulnya."
Tunjukkan Perilaku Yang Anda Inginkan
Jika ia memukul Anda, dengan tenang jauhkan tangannya dan pegang ia. Katakan dengan singkat dan sungguh-sungguh, tapi tanpa kemarahan, "Tolong jangan pukul Mama. Itu menyakitkan." Lalu, gunakan tangannya untuk mengusap secara lembut, bagian tubuh Anda yang ia pukul, dan katakan, "Lihat, inilah yang Mama sukai."

TINDAK PENCEGAHAN
* Tentukan Batas
Tentukan aturan yang jelas bagaimana ia harus bertingkah laku. Mulai usia 18 bulan, ia cukup mampu untuk memahami batasan-batasan sederhana, meskipun ia tak akan mematuhinya sepanjang waktu. Yang penting, biarkan ia tahu bahwa menyakiti orang lain dan menggunakan kekuatan kasar untuk memecahkan konflik adalah salah.
* Sahkan Perasaannya
Semua perasaan adalah sah, tapi tidak demikian dengan beberapa perilaku. Katakan padanya, "Kamu boleh merasa marah ketika temanmu merebut mainanmu. Tapi kamu tak boleh memukul, karena pukulan membuat sakit."
* Ajarkan Kata-kata Pengganti Pukulan
Anda dapat mengajarkannya kata-kata seperti "Hentikan!", "Jangan!", "Ini milikku!", "Tidak!" dan "Pergilah!" sebagai alternatif memukul. Sehingga, saat temannya merebut mainan yang sedang ia mainkan, ia dapat mengatakan, "Jangan, ini milikku!", bukan malah memukulnya.
* Minimalisir Frustrasi
Bantu ia mempelajari keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup sehari-hari seperti keterampilan sosial, bermain, berbusana, dan keterampilan makan. Ini akan mengurangi rasa frustrasinya.
* Awasi Saat Ia Bermain
Selalu dampingi saat ia bermain bersama teman-teman atau saudara kandungnya, tapi Anda tak harus selalu berada di dekatnya. Yang penting, Anda dapat dengan mudah mengawasinya.
* Batasi Jumlah Teman Bermainnya
Di usia ini, ia baru mulai belajar bersosialisasi. Dua atau tiga teman bermain sudah cukup dalam satu waktu permainan. Anda pun lebih mudah mengawasinya.
* Beri Perhatian Untuk Perilaku Baik
Memukul seringkali mengundang perhatian anak-anak yang kerap diabaikan atau tak dihargai ketika mereka berperilaku baik. Seorang anak yang merasa tak cukup diperhatikan akan mungkin melakukan sesuatu untuk diperhatikan, salah satunya memukul teman atau saudara kandung. Beri ia cukup perhatian seperti hadiah, ciuman, dan pelukan untuk perilakunya yang baik.
* Kontrol Diri Anda
Apa pun yang Anda lakukan dan alami, jangan bereaksi terhadap perilaku tak menyenangkan dari anak dengan memukulnya. Jika Anda sedang stres dan Anda memukulnya, berarti Anda mengajarkan ia bahwa kekerasan adalah reaksi wajar dari orang yang berada di bawah tekanan atau stres. Jadi, jangan sampai Anda lepas kontrol.
* Jangan Gunakan Pukulan Untuk Disiplin
Jika Anda melarangnya memukul, tapi Anda malah memukul tangannya saat melarang sesuatu, maka Anda tak membantu ia melihat apa yang seharusnya ia ketahui dari suatu kebiasaan. Dengan Anda memukulnya, ia belajar bahwa memukul merupakan satu cara agar orang lain mematuhi perintahnya atau memenuhi keinginannya.


Selengkapnya..

3.05.2009

HAL BARU YANG DIPAHAMI SI BATITA


Perkembangan batita selalu menarik untuk diikuti. Di usia ini selalu saja ada kemampuan baru yang dikuasainya setiap hari. Mungkin juga salah satu di antara 6 hal berikut ini adalah kemampuan yang baru dikuasai batita Anda. Apa sajakah itu? Ikuti penjelasan yang disampaikan Vera Itabiliana, Psi., dari Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Jakarta.

1. MELAMBAIKAN TANGAN SAAT ADA YANG MENGATAKAN, "DAAHH...."
Saat ada orang yang melambaikan tangan sambil mengatakan, "Daahh...", batita sudah bisa membalas melambaikan tangan. Beberapa juga bisa mengatakan, "Daahh...," bahkan ada yang sudah bisa menirukan gerakan kiss bye alias mencium tangannya sebelum dilambaikan.
* Bagaimana batita memahami perintah ini?
Dengan melihat pengulangan aksi ini sehari-hari, batita bisa memahami kemudian menirukannya karena cara belajar batita adalah dengan meniru selain bereksplorasi. Ia bisa meniru suatu aksi jika melihatnya berulang kali. Terkadang ada yang sekali melihat, langsung meniru gerakan tangannya saja. Tapi biasanya untuk dikaitkan dengan kata, "Daahh...," perlu pengulangan beberapa kali.
Menurut tokoh psikologi perkembangan kognitif, Jean Piaget, sejak usia 8 bulan ke atas, anak sudah mengembangkan perilaku yang memiliki maksud tertentu atau goal directed behavior. Jadi, anak sudah paham bahwa perilaku tertentu akan mengakibatkan reaksi tertentu. Contoh, ia tahu kalau ia menunjuk gelas, ibu akan mengambilkan air minum untuknya. Begitu juga dengan melambaikan tangan. Anak sudah paham jika saatnya berpisah, maka lambaikan tangan.
* Stimulasi apa yang bisa diberikan untuk melatih pemahaman ini?
Cukup dengan pembiasaan saja. Setiap kali akan berpisah, tunjukkan lambaian tangan dan katakan, "Daahh...." Tunjukkan secara jelas pada anak bagaimana telapak tangan membuka dan lalu ucapkan, "Daahh...," secara perlahan agar jelas terdengar oleh anak dan mudah ditirukannya. Anak juga dapat dibantu dengan mengangkatkan tangannya lalu melambaikannya. Tapi jangan dengan paksaan. Karena jika dipaksa, anak malah menolak dan semakin tidak mau melakukannya.
* Bila anak belum bisa melakukannya, apa yang harus dilakukan orangtua?
Anak belum bisa melakukannya karena beberapa sebab, di antaranya:
- Merasa dipaksa
Solusi: Jadikan kegiatan ini sebagai suatu hal yang menyenangkan. Kalau anak tidak mau, jangan memaksanya. Cukup lakukan di hadapannya sebagai contoh sampai terjadi pembiasaan.
- Malu
Solusi: Lakukan bersama-sama sehingga anak tidak merasa "aneh sendiri" saat melakukannya.
- Ada hambatan pada otot tangan.
Solusi: Untuk yang terakhir ini, orangtua dapat membantu anak dengan mengajak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan motoriknya seperti mengelap kaca sambil bermain, mencuci mobil sambil bermain, membelai boneka (agar telapak tangannya membuka), dan sebagainya.
Tapi umumnya melambaikan tangan sambil mengatakan, "Daahh..." adalah kemampuan yang mudah dikuasai semua anak sehingga jarang sekali perlu perlakuan khusus untuk melatihnya.

2. MEMAHAMI PERINTAH SATU LANGKAH
Di usia ini anak sudah bisa memahami perintah satu langkah. Umpama, "Ambil bolanya," "Letakkan piringnya," "Minum susunya," dan perintah satu langkah lainnya.
* Bagaimana batita memahami perintah satu langkah ini?
Dengan semakin berkembangnya kemampuan komunikasi khususnya perkembangan bahasa, anak dapat melakukan komunikasi dua arah atau interaktif. Dengan demikian ia mampu memahami bahwa ada sesuatu yang harus ia lakukan di balik instruksi yang ia dengar. Ketika orangtua mengatakan, "Ambil bolanya," anak akan mengambil bola dan memberikannya kepada orangtua. Anak batita tanpa gangguan pendengaran atau gangguan perkembangan lainnya, seperti ADHD dan autisma selayaknya dapat mengikuti perintah tunggal tanpa kesulitan.
* Stimulasi apa yang bisa diberikan untuk melatih pemahaman ini?
Dengan mengajaknya bermain bersama, ada banyak rangsangan berupa instruksi yang dapat diberikan kepada anak. Orangtua juga bisa berganti peran dengan anak sehingga dapat memberikan contoh bagaimana cara melaksanakan instruksi. Mengikutsertakan anak dalam aktivitas "sekolah" atau kelompok bermain juga bermanfaat untuk melatih kemampuan ini.
* Bila anak belum bisa melakukannya, apa yang harus dilakukan orangtua?
Karena kemampuan ini terkait dengan kemampuan bahasa, maka orangtua harus terus memberikan stimulasi yang merangsang anak menambah database kosakatanya. Caranya dengan terus mengajaknya ngobrol, membacakan dongeng, mengajaknya bernyanyi, dan sebagainya. Sedangkan anak-anak yang memiliki gangguan pendengaran, gangguan konsenstrasi, dan autisma harus segera mendapat intervensi berupa penanganan yang komprehensif dari ahlinya.

3. PAHAM KEABADIAN OBJEK
Anak batita tahu bahwa kucing yang menghilang di balik pintu bukan benar-benar "lenyap" ditelan bumi, melainkan tetap ada meski tak terlihat lagi olehnya.
* Bagaimana batita memahami keabadian objek ini?
Menurut Piaget, di usia 8-12 bulan, anak sudah paham tentang object permanence, yaitu benda tak akan hilang meskipun hilang dari pandangan mata. Di usia ini anak mulai mengembangkan skema perilakunya yang terjadi melalui pengalaman yang dialaminya sendiri. Dengan mengeksplorasi dan mengamati, dia akan tahu bahwa benda itu masih ada. Tapi jika benda tersebut dipindahkan dari tempat persembunyiannya ke tempat kedua, anak masih terus akan mencari di tempat pertama. Kemampuan ini terus berkembang sampai anak bisa paham permainan petak umpet di usia selanjutnya.
* Stimulasi apa yang bisa diberikan untuk melatih pemahaman ini?
Melalui permainan cilukba atau menyembunyikan suatu benda dengan saputangan, anak belajar keabadian objek. Tunjukkan pada anak begitu saputangan dibuka, ternyata bendanya masih ada.
* Bila anak belum bisa melakukannya, apa yang harus dilakukan orangtua?
Bila tak ada gangguan khusus, pemahaman ini pasti bisa dikuasai anak dengan sendirinya. Jarang sekali perlu perlakuan khusus untuk melatihnya.

4. PAHAM BEBERAPA EKSPRESI EMOSI
Di usia batita, anak paham beberapa ekspresi emosi sederhana, seperti marah, sedih, senang, antusias, terkejut.
* Bagaimana batita memahami ekspresi emosi ini?
Pemahaman ini didapat sejalan dengan perkembangan sistem saraf otak, pengalaman emosi dalam kehidupannya, reaksi/respons emosi dari orang-orang terdekatnya.
* Stimulasi apa yang bisa diberikan untuk melatih pemahaman ini?
Tunjukkan ekspresi emosi yang tepat untuk setiap kejadian dan sebutkan label emosinya. Misal, "Wow, Mama senang sekali karena kamu makan sampai habis!" Katakan ini dengan ekspresi muka berseri di hadapan anak. Bantu anak memahami perasaannya dengan menyebutkan label emosinya. Contoh, anak menangis karena mainannya rusak, orangtua bisa mengatakan, "Kamu sedih ya karena mainanmu rusak...."
Orangtua juga bisa menstimulasi kemampuan ini melalui bahasa gambar. Sediakan beberapa gambar yang menunjukkan ekspresi sedih, senang, marah, antusias, terkejut. Minta anak untuk memilih gambar yang sesuai dengan apa yang dirasakannya saat itu.
* Bila anak belum bisa melakukannya, apa yang harus dilakukan orangtua?
Orangtua juga harus ekspresif terhadap emosinya sendiri, tapi tentu saja dengan ekspresi yang tepat dan tidak berlebihan. Orangtua juga harus jeli menangkap sinyal emosi anak lalu bantu ia memahami emosinya. Dengarkan keluhannya lalu identifikasikan emosi yang sedang ia rasakan dan beri masukan bagaimana reaksi/ekspresi yang tepat untuk emosi yang sedang ia rasakan.

5. MEMAHAMI ADA SESUATU DI DALAM
Anak tahu bahwa dalam lemarinya tersimpan pakaian-pakaiannya, di dalam boks mainan ada mainan-mainannya, di dalam kulkas ada makanan dan sebagainya.
* Bagaimana batita bisa memahami ada sesuatu dalam sesuatu?
Melalui pengalaman dan pengamatan sehari-hari, anak paham bahwa di dalam sesuatu mungkin ada sesuatu. Setiap hari ia melihat ibu atau pengasuhnya membuka kulkas lalu mengambil makanan dari dalamnya, atau membuka lemari dan mengambilkan pakaian untuknya. Itu semua membuatnya mengerti bahwa di dalam wadah tertutup ada ruang untuk menyimpan sesuatu.
* Stimulasi apa yang bisa diberikan untuk melatih pemahaman ini?
Sambil membuka kulkas, orangtua bisa mengatakan, "Mama mau mengambil keju dari dalam kulkas, Adek mau?" Jelaskan dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami anak apa yang tengah dilakukan supaya ia lebih mudah mengerti. Bisa juga melalui latihan, umpamanya, "Ayo, Adek buka lemarinya, biar Mama ambilkan bajunya." Atau, "Yuk, kita masukkan mainan yang sudah selesai digunakan ini ke dalam boksnya."
* Bila anak belum bisa melakukannya, apa yang harus dilakukan orangtua?
Ulang-ulang terus stimulasi di atas setiap ada kesempatan. Bisa juga saat membacakan dongeng, orangtua menjelaskan bahwa
dalam sesuatu yang tertutup bisa jadi ada sesuatu yang tersimpan di dalamnya.

6. PAHAM FUNGSI SUATU BENDA
Batita paham beberapa fungsi benda, semisal sepatu untuk alas kaki, bantal untuk tidur, piring untuk makan dan sebagainya.
* Bagaimana batita bisa memahami fungsi suatu benda?
Semua benda yang bersinggungan atau digunakan dalam aktivitas sehari-harinya, seperti saat makan, mandi, tidur, bermain, satu per satu akan dipahami fungsinya. Hal ini terjadi melalui pengamatan, pembiasaan dan peniruan. Ia melihat sebelum pergi orangtuanya selalu mengenakan sepatu, ia jadi paham bahwa sepatu adalah alas kaki yang harus digunakannya untuk bepergian, begitu juga dengan benda-benda lainnya.
* Stimulasi apa yang bisa diberikan untuk melatih pemahaman ini?
Sambil mengenalkan benda yang digunakan sehari-hari, sebutkan fungsinya dan peragakan cara menggunakannya. Lakukan ini ketika anak mulai belajar bicara, sekaligus untuk menambah kosakatanya. Umpamanya waktu mandi, "Mana sabun mandinya? Oh, ini ya? Yuk, Mama sabuni dulu supaya badan Adek jadi bersih dan wangi."
* Bila anak belum bisa melakukannya, apa yang harus dilakukan orangtua?
Secara umum anak pasti akan memahami benda-benda yang digunakannya dalam keseharian. Lakukan terus stimulasi di atas bila anak belum juga paham.

Sumber : nikita

Selengkapnya..

2.26.2009

Belajar Mulai Dini


Tak bisa dipungkiri, di era global yang serba kompetitif ini banyak orangtua yang rela melakukan apa saja agar anaknya lebih unggul dibanding rekan-rekan sebaya, crème de la crème. Salah satu ukuran yang populer dipakai untuk menilai kehebatan anak adalah kemampuan baca-tulis. Barangkali itu sebabnya kurikulum baca-tulis yang dulu baru diajarkan di tingkat Sekolah Dasar, sekarang sudah jadi pelajaran wajib di jenjang Taman Kanak-kanak (TK), bahkan Kelompok Bermain (KB).
Tetapi, apakah betul asumsi bahwa semakin dini anak belajar baca-tulis semakin cerdas kelak ia di masa depan? Atau sebaliknya, mencekoki anak dengan pelajaran formal terlalu dini justru berbahaya? Berikut ringkasan penuturan dari pakar perkembangan dan perilaku anak, dokter Susan Johnson, yang layak dicermati para orangtua.

Bagian I - Sistem Proprioseptif
Apakah anak Anda tidak bisa duduk tenang, selalu bergeliat-geliut di kursinya, melilitkan kakinya ke kaki bangku, mengetuk-ngetukkan jari di meja, dan sebagainya? Apakah anak Anda sering terbangun sepanjang tidur malamnya, mencari-cari kontak fisik dengan orangtua sebelum bisa lelap kembali? Jika ya, berarti kemungkinan besar sistem proprioseptifnya belum matang.

Sistem proprioseptif adalah kemampuan seorang anak untuk mengetahui keberadaan tubuhnya dalam ruang. Anak dengan sistem proprioseptif yang telah berkembang bisa merasakan keberadaan anggota-anggota tubuhnya tanpa harus melihat atau menggerakkan mereka. Kematangan sistem ini bisa diuji antara lain dengan melihat apakah seorang anak bisa berdiri stabil di atas satu kaki dengan mata terpejam.


Kematangan sistem proprioseptif sangat erat kaitannya dengan kemampuan untuk duduk tenang dan memusatkan perhatian. Selama tujuh tahun awal kehidupannya, otak anak masih harus memetakan lokasi otot, tendon, dan sendi-sendi di seluruh tubuh. Itu sebabnya saat disuruh duduk, ada saja bagian tubuh si anak yang bergerak-gerak supaya otak tidak kehilangan jejak keberadaannya. Sayang, di sekolah, anak yang tidak mampu duduk tenang seperti ini bisa langsung dicap sebagai penderita ADD (Attention Deficit Disorder).

Kalau sistem proprioseptif belum matang, seorang anak akan kesulitan belajar membaca dan menulis. Sebab, ia belum bisa membayangkan gerakan dari bentuk-bentuk abstrak seperti huruf dan angka. Boleh saja ia telah berlatih berpuluh-puluh kali, tapi tetap saja bingung antara huruf “b” dan “d”, atau tanpa sadar menulis angka 2 atau 3 secara terbalik. Untuk mengetes, coba saja Anda gores dengan jari huruf atau angka itu di punggung anak Anda, apakah ia bisa mengenalinya? Kalau tidak bisa, berarti sistem proprioseptifnya belum berkembang baik.

Sistem proprioseptif menjadi kuat melalui gerakan-gerakan jasmani, seperti menyapu, mendorong gerobak mainan, membawakan belanjaan, mengosongkan tong sampah, menyiangi rumput, atau bergelantungan di tangga lengkung taman bermain. Lewat kegiatan-kegiatan ini, koneksi antara benak dan reseptor di otot, tendon, dan sendi terbentuk. Saat lengan, kaki, telapak tangan, dan telapak kaki maju, mundur, naik, turun, ke kiri dan kanan, anak-anak akan mulai memperoleh kesadaran tentang ruang di sekeliling mereka. Dampaknya, saat nanti mereka memandang bentuk-bentuk huruf dan angka, mata mereka mampu mengikuti dan melacak garis-garis dan lengkung-lengkung itu. Memori dari gerakan-gerakan ini akan tercetak di benak mereka, lantas terbentuklah gambaran atau imaji mental atas angka-angka dan huruf-huruf ini. Sebelum mulai menulis, orientasi yang benar ini akan muncul sebagai panduan. Mereka tak lagi bingung antara huruf “b” dan “d” atau arah angka 2 dan 3.** (bersambung)

Selengkapnya..

2.19.2009

Latihan Berkonsentrasi


Apakah batita Anda tak pernah bisa diam; lari sana, lari sini, loncat sana, loncat sini? Atau ia tampak lekas bosan, tak sampai 5 menit pegang satu mainan sudah beralih ke mainan lain? Selamat datang di dunia anak 1-2 tahun! Mereka memang masih kurang fokus atau masih sulit menaruh perhatian terhadap sesuatu untuk waktu yang lama. Ini berhubungan dengan rentang konsentrasi batita yang masih pendek, patokannya sekitar 5-15 menit (bandingkan dengan kemampuan berkonsentrasi anak usia sekolah yang mencapai 30-45 menit).
Toh, patokan itu bukan angka mati. Pada dasarnya, kemampuan konsentrasi setiap anak berbeda. Ada yang hanya mencapai 5 menit, tapi ada juga yang mampu hingga 15 menit. Faktor temperamen, salah satu yang memengaruhi hal tersebut. Anak yang pembawaannya tenang umumnya memiliki rentang konsentrasi yang cukup baik. Ia tidak mudah menyerah dan tidak gampang teralihkan perhatiannya ketika sedang melakukan sesuatu. Contoh, saat tidak bisa memakai sandal, ia akan mencoba dan mencobanya lagi. Sementara anak yang energik (senang bergerak) umumnya akan memiliki rentang perhatian yang lebih rendah serta mudah teralihkan. Ia juga tampak pembosan dan gampang menyerah. Saat tak bisa memainkan pasel, misalnya, anak akan meninggalkannya begitu saja dan beralih pada hal lain. Tak ada yang salah dengan kedua model karakter tersebut. Bukankah mereka masih berusia 1-2 tahun?

FUNGSI KERJA OTAK
Mengapa rentang perhatian batita masih pendek? Sebelum menjawab hal itu, perlu diketahui bahwa konsentrasi merupakan sesuatu yang terberikan dan berkaitan dengan fungsi kerja otak. Kemampuan memfokuskan perhatian ini dipengaruhi beberapa hal lain, seperti (1) kemampuan indra (penglihatan dan pendengaran) yang berfungsi menerima rangsang, (2) kemampuan gerak motorik (dalam mengerjakan sesuatu), serta (3) peran lingkungan (dalam memberikan rangsang atau stimulus). Semua harus berfungsi dengan baik, bila salah satu tidak berfungsi optimal, maka stimulus yang masuk tidak bisa ditangkap dan diolah otak dengan baik sehingga respons yang dihasilkan pun jadi terganggu.
Nah, tingkat konsentrasi yang belum baik pada usia batita berkaitan dengan kemampuan fungsi indra, fungsi otak, dan fungsi-fungsi lainnya pada anak 1-2 tahun yang memang belum sepenuhnya optimal (masih dalam perkembangan). Keingintahuan yang besaryang mendorongnya untuk banyak bergerak (bereksplorasi); mencoba ini, mencoba itujuga merupakan penyebab si kecil jadi sulit fokus pada suatu hal dalam rentang waktu yang lama.

MELATIH TANPA MENUNTUT
Sekali lagi, meski wajar, rentang perhatian anak perlu terus ditingkatkan dengan berbagai stimulasi. Namun ingat, jangan terlalu menuntutnya dapat melakukan suatu aktivitas dengan tekun. Yang bisa diharapkan dari anak usia batita menyelesaikan satu kegiatan hingga tuntas. Tentu saja untuk itu diperlukan kegiatan yang menyenangkan, sambil bermain, tetapi memiliki tujuan. Inilah contoh-contohnya:

  • Pada batita awal yang masih minum ASI, lakukan selalu kontak mata dan ajak ia bicara saat disusui.
  • Memberikan kesempatan kepada anak dalam melakukan kemandirian seperti belajar mengenakan sepatu atau sandal sendiri.
  • Mengajak si batita melihat-lihat gambar pada buku dan membuka lembar demi lembarnya satu per satu. Jelaskan warna-warna apa saja yang ada pada gambar dengan menunjukkannya dan menanyakan kembali pada anak.
  • Ajak si kecil bicara secara fokus dan tuntas. Topik pembicaraan yang tidak jelas cenderung diabaikan oleh anak.
  • Ketika menyampaikan sesuatu, pastikan anak sedang dalam keadaan siap untuk mendengarkan apa yang dibicarakan.
Contoh cara berbicara yang lugas, tidak berpanjang-panjang kalimat dan jelas, sehingga anak dapat menangkap dan memberi respons yang sesuai.
Ajak anak bermain dengan mainan yang menantang sekaligus menuntut pemusatan perhatian seperti pasel 1-2 keping, pasel bentuk 3 dimensi yang hanya dapat dimasukkan ke dalam lubang yang bentuknya sesuai, memasukkan biji-bijian besar ke dalam botol, memasukkan air ke dalam botol memakai corong dibarengi upaya agar tidak tumpah, meronce manik-manik besar, menyusun balok-balok besar, dan sejenisnya.
Mengajak si batita melakukan aktivitas makan sendiri meski masih berantakan.
Latihan dasar konsentrasi yang sebaiknya dimulai di usia bayi, bahkan kandungan, bertujuan membangun fokus perhatian anak. Konsentrasi sangat diperlukan dalam proses belajar maupun menyelesaikan suatu tugas hingga tuntas. Bukan hanya tugas sekolah tetapi juga tugas-tugas lain dalam kehidupan.

WASPADAI di ATAS 2 TAHUN
Gangguan konsentrasi bisa mulai dideteksi setelah anak berusia 2 tahun. Kondisi ini umumnya makin tampak bila si kecil menginjak usia prasekolah dan semakin jelas saat duduk di sekolah dasar. Kecurigaan umumnya berawal dari keluhan guru karena anak sering tidak betah duduk menekuni satu kegiatan, mengganggu teman-temannya, nilai-nilai akademisnya tidak memuaskan, berbagai tugasnya tidak pernah selesai dikerjakan.
Gangguan konsentrasi akan semakin kentara bila dibarengi dengan hiperaktivitas/ADHD (Attention Deficiet Hiperactivty Disorder). Cirinya, anak seolah tidak mau mendengarkan instruksi, tak mau diam/tenang (selalu bergerak ke sana kemari), tidak selesai dalam menyelesaikan suatu tugas dan mudah teralihkan pada hal lain, ketika ditanya pun ia tidak menjawab, tidak ada kontak mata, dan (biasanya) mengganggu orang lain.
ADHD berbeda dengan ADD (Attention Deficit Disorder). Anak ADD tidak hiperaktif. Lantaran itulah, gangguan ini lebih sulit dideteksi karena anak (tampaknya) memililki pembawaan tenang dan terfokus pada satu objek tanpa teralihkan. Namun sebetulnya ia tidak bisa mendengarkan esensi yang dibicarakan orang lain, tidak bisa memilah informasi mana yang harus ditangkap maupun diabaikan, dan tidak bisa beralih perhatiannya bila memang diperlukan.
Gangguan konsentrasi tanpa hiperaktivitas atau gerak tak beraturan, biasanya diketahui ketika anak duduk di sekolah dasar. Ketika anak diketahui tidak bisa menangkap secara baik pembicaraan atau penjelasan guru, tidak mengerjakan sesuai perintah, dan lain-lain.
Bila ada perilaku mencurigakan, seperti anak menolak melakukan kontak mata, (bisa dilihat saat anak sudah lewat berusia 2 tahun) maka perlu ditegakkan diagnosa dengan bantuan ahli (psikolog klinis anak, psikiater, ataupun ahli saraf). Penanganan yang akan dilakukan umumnya berupa terapi okupasi dengan meningkatkan kemampuan motorik halusnya sehingga kemampuan konsentrasinya pun akan semakin baik. Terapi lainnya adalah terapi perilaku (misalnya, latihan bicara disertai kontak mata) dan pantang makanan tertentu (seperti susu, gandum, yang dicurigai meningkatkan hiperaktivitas). Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan konsentrasi seperti melipat, meronce, dan lain-lain, juga amat disarankan

Selengkapnya..

2.11.2009

GEMAR MENGOSONGKAN BENDA


Rasanya tak ada anak usia batita yang tak pernah bongkar-bongkar dompet/tas orang tuanya maupun orang lain semisal tamu. Kebanyakan orang tua cenderung memandang negatif perilaku tersebut. Dianggapnya, tak sopan dan lancang. Bahkan, ada pula yang sampai berpikir anak berniat mencuri. Tak heran bila orang tua malunya bukan main kala anaknya "ketangkap basah" buka-buka dompet/tas orang lain.
Padahal, kita sebenarnya tak perlu malu, apalagi sampai berpikiran negatif. Soalnya, "batita masih benar-benar polos. Niatnya buka-buka dompet atau tas sama sekali bukan lantaran ia lancang, apalagi mengarah pada keinginan mencuri. Anak usia ini, kan, belum mengerti nilai uang, konsep besar-kecil, maupun penting dan berharga atau tidak," terang Yohana Ratrin Hestyanti, Psi. dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta. Jadi, enggak fair, ya, Bu-Pak, bila kita menuduhnya demikian.
Perilaku buka-buka dompet/tas, menurut psikolog yang akrab disapa Jo ini, disebabkan anak usia ini punya dorongan kebutuhan bereksplorasi yang sangat besar. "Saking besarnya dorongan ini, ia tak mempedulikan lagi apa objeknya. Semua hal dijadikannya sasaran bereksplorasi, termasuk dompet dan isinya." Pokoknya, sepanjang objek itu dianggap menarik, ia pasti ingin tahu lebih jauh tentang benda pilihannya itu. Entah dengan memegang, meraba, membuka, memencet, mendorong, menjatuhkan, atau membongkar. Itulah mengapa, dompet/tas tamu pun jadi sasaran eksplorasinya.
Selain itu, dorongan bereksplorasi juga tak kenal tempat dan waktu. Hingga, di mana pun dan kapan pun, jika ia sudah tertarik pada suatu benda, ia langsung mengutak-atiknya. Sampai-sampai, saat kita bertamu atau kedatangan tamu pun, ia bisa saja melakukan "kegemaran"nya buka-buka dompet/tas.


GALI RASA INGIN TAHUNYA
Jadi, Bu-Pak, perilaku si kecil yang demikian wajar adanya. Justru bila kita memahami kebutuhan anak usia ini semata-mata untuk bereksplorasi, anak jadi memperoleh banyak masukan dan keuntungan. "Paling tidak, kalau aware, kita akan berusaha memahami proses perkembangan anak. Termasuk mengenali ia memang tak berniat usil, apalagi mencuri karena ia hanya tengah memasuki fase untuk menggali pengetahuan seluas-luasnya," tutur Jo.
Dengan demikian, sikap positif kita makin merangsang si kecil bereksplorasi secara sehat. Hingga, kita pun tak serta merta menghardik, "Enggak boleh!" kala ia menggeratak dompet/tas, melainkan mencoba mengkomunikasikannya, "Adek sedang apa? Dompet Bunda bagus, ya? Adek suka? Adek lagi cari apa, sih, di situ?" Jadi, kita berupaya menggali rasa ingin tahunya sekaligus "mendorong"nya bahwa tindakannya buka-buka dompet bukan kesalahan.
Baru kemudian secara perlahan, terlebih jika usianya sudah 1,5 tahun, kita kenalkan ia pada konsep kepemilikan, "Ini, kan, dompet Bunda, bukan punya Adek." Jangan lupa, anak usia ini belum mengerti konsep kepemilikan. Itulah mengapa, kita tak boleh mengatakan "kegemaran"nya ini sebagai tindakan lancang atau tak sopan.
MINTA MAAF
Tentu ia harus diajarkan pula, ada hal-hal tertentu yang tak boleh dilakukannya semisal merusak. Jadi, kala ia mulai menunjukkan keinginan menekuk-tekuk KTP atau SIM, misal, kita harus memberinya peringatan, "Eit, enggak boleh, Sayang. Nanti rusak."
Tapi jangan gunakan nada tinggi atau keras saat mengingatkannya, ya, Bu-Pak. Jangan pula panik atau heboh saat melihat ia menggeratak. "Bila kita teriak, ia pasti kaget atau malah menangis," ujar Jo. Dampaknya buruk, lo, buat si kecil bila kita kerap lepas kontrol seperti itu. "Anak jadi merasa tak nyaman dan takut."
Jika lepas kontrolnya cuma sesekali, saran Jo, minta maaf pada anak. "Maaf, ya, tadi Mama karena kaget jadi bentak Adek, deh. Mama nggak bermaksud memarahi Adek, kok, Mama cuma khawatir dompet atau kartu-kartu penting Mama rusak." Permintaan maaf dan penjelasan seperti ini membuat si kecil kembali merasa "terangkat", hingga dampaknya tak sedemikian buruk.
Anak seusia ini, terang Jo pula, justru lebih gampang menangkap apa yang kita sampaikan bila menerangkannya dengan mimik hangat/ramah dan bahasa sederhana. Terlebih bila dibarengi gerakan tangan maupun kepala semisal melambai atau menggeleng.
Lain hal bila si kecil mengarah pada tindakan berbahaya atau merugikan, "orang tua perlu bersikap tegas." Katakan "tidak", lalu segera cari objek penggantinya. Kartu ATM bohong-bohongan atau uang-uangan yang tak kalah menarik, misal, hingga ia bisa teralihkan dari kartu-kartu penting dan berharga yang ada di dompet.
JANGAN IKUT NGOTOT
Bila si kecil tetap ngotot mempertahankan alias tak mau diberi objek pengganti, Jo minta kita tak terpancing menunjukkan sikap frontal atau sama-sama ngotot. "Makin kita ngotot, ia makin asyik menikmati negasi atau penolakannya." Sama halnya meng-cut dengan mengatakan, "Pokoknya enggak boleh!", yang juga harus dihindari. Soalnya, anak usia ini cenderung menunjukkan penolakan yang kuat. "Bila dilarang, malah seperti disuruh, kan? Makin dilarang, ia justru kian gencar melakukannya dan membuat kita terpancing untuk jengkel serta mencapnya dengan sebutan si bandel atau sebutan negatif lainnya."
Harus diingat pula, larangan-larangan yang kelewat sering malah memupus keinginan anak bereksplorasi. Lantaran ia merasa tak aman dan nyaman. Nah, jangan salahkan si kecil bila akhirnya ia jadi takut atau merasa terancam, hingga keingintahuannya terhenti dengan sendirinya. Selain itu, banyak larangan dan dimarahi terus cenderung mengembangkan rasa malu, serba ragu, dan tak berani melakukan apa-apa. Jika sudah begini, bukankah ia tak bisa memanfaatkan masa bereksplorasi dan mengembangkan rasa ingin tahunya secara maksimal? Akhirnya, tahapan perkembangan lain pun ikut terhambat.
Sebaliknya, bila kita selalu sabar dan mampu kontrol diri, kita bisa segera tersadar untuk memberi reaksi yang pas. Misal, dengan memposisikan diri bersimulasi sebagai pembeli dan penjual. Hingga, si kecil pun akan mengembalikannya dengan suka rela. Cara lain, carikan pengganti berupa benda lain yang tak berbahaya namun tetap menarik buat anak; bisa berupa makanan seperti permen dan cokelat, atau berupa mainan maupun bahan bacaan. Jadi, tak perlu dilarang, ya, Bu-Pak. Wong, ia cuma ingin tahu, kok.
KENALKAN PRIVASI
Solusi yang lebih mudah untuk mengatasi "kegemaran" buka-buka dompet/tas tentulah tak meletakkan benda tersebut di tempat yang mudah dijangkau si kecil. Atau, bila memungkinkan, "belikan saja dompet sederhana yang ada gambar-gambar berkarakter lucu sesuai seleranya." Katakan padanya, "Ini dompet Ibu. Untuk Adek, nanti Ibu belikan yang baru yang ada gambarnya. Adek suka gambar Hello Kitty, kan? Nah, kita cari dompet yang ada gambar Hello Kittynya, ya." Dengan begitu, selain keinginannya terpenuhi, ia pun belajar mengenal mana miliknya dan mana yang bukan.
Selain itu, tak ada salahnya si kecil dikenalkan pada konsep privasi dan sopan santun. Apalagi anak usia batita sudah mulai bersosialisasi. Misal, "Ini tas Tante Dina. Jangan dibuka-buka, ya, Dek." Hal ini juga mengajarkannya menghormati milik orang lain dengan tak mengusik atau mengambilnya. Dengan demikian, ia pun dibiasakan untuk bersibuk dengan "harta"nya sendiri, hingga tiap kali kedatangan tamu tak lagi mengadul-adul dompet atau isi tas si tamu.
"Anak usia ini akan cepat teralihkan, kok, kalau diketahui, perilaku menggeratak dompet/tas sama sekali tak ada kaitannya dengan dorongan mencari perhatian. Sekalipun perilaku tersebut ditunjukkan kala kita kedatangan tamu. "Bukankah ketika tak diawasi dan tak dilibatkan dalam pembicaraan, anak akan mencari keasyikan sendiri?" ujar Jo. Jadi, tekannya, perilaku si kecil yang demikian semata-mata lantaran tak ada kegiatan lain yang menarik perhatiannya. "Anak usia segini, kan, memang ingin menjelajah dunia, makanya enggak bisa diam."
Namun Jo tak bisa memastikan, apakah anak akan berhenti menggeratak bila rasa ingin tahunya terpuaskan dengan penjelasan dan pendampingan orang tua. "Ini proses alam dan umumnya akan berhenti dengan sendirinya, meski tiap anak bisa berbeda pada usia berapa akan berhenti." Cepat-tidaknya kebiasaan ini hilang sangat tergantung pada banyak aspek, diantaranya minat atau ketertarikan anak. "Makin banyak bidang minatnya, makin mudah ia meninggalkan kebiasaannya." Misal, sekarang ia lagi getol-getolnya menirukan ibu berdandan atau mengenakan lipstik. Kali lain, ia gemar main masak-masakan; sementara minggu-minggu berikutnya tergila-gila main sekolah-sekolahan, dan seterusnya. Faktor lain, beragamnya tokoh peniruan yang tak terbatas pada sosok ibu atau bapaknya saja.
Dengan kata lain, "kegemaran" buka-buka dompet/tas bisa jadi lantaran proses peniruan juga. Si kecil pasti pernah, dong, melihat kita atau orang lain membuka dompet atau mengeluarkan uang saat membayar belanjaan. "Nah, lewat proses imitasi atau peniruan inilah, ia ingin melakukan hal yang sama," tandas Jo.

MENGOSONGKAN BENDA

Ada beberapa hal yang bisa membantu kita memahami si kecil dalam kaitan dengan "kegemaran"nya buka-buka dompet/tas, yaitu:

  • Kemampuannya mengosongkan benda-benda yang dijumpainya ternyata lebih dini dimiliki ketimbang kemampuannya mengembalikan isi benda tersebut ke tempat semula.
  • Baginya, kegiatan membongkar dan mengosongkan semacam itu bukan bahan lelucon yang boleh ditertawakan, melainkan "kerja" serius yang akan membantu mereka memahirkan keterampilan motorik halusnya dan mengembangkan kemampuan berpikirnya. Baginya, mengisi atau mengembalikan sesuatu ke tempat asalnya merupakan keterampilan yang lebih sulit dan tak terlalu memberi kepuasan ketimbang mengosongkan sesuatu. Jadi, jangan pernah berharap ia memasukkan benda-benda tertentu semahir ia mengeluarkan benda yang sama.
  • Pahami ada masanya bagi si kecil sebelum ia mampu mengendalikan dorongan untuk mengobrak-abrik benda-benda "terlarang".
  • Membongkar atau mengosongkan segala sesuatu merupakan pengalaman belajar yang berharga baginya, meski sangat menjengkelkan atau bahkan merugikan orang lain.
  • Mengingat pentingnya tahapan ini, beri kesempatan pada anak untuk mengosongkan dompet tanpa bentakan atau larangan. Bila keberatan, sediakan benda serupa yang jauh lebih murah.



Selengkapnya..

Menjadi Orang Tua Super © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO