Biarkan Anak-anak Bermain
Anak-anak sekarang dihadapkan pada berbagai jenis kompetisi, mulai dari kontes idola sampai lomba melukis. Orangtua pun sibuk mengantar anaknya dari lomba ke lomba yang menjanjikan piala dan kebanggaan itu. Tetapi, apakah kompetisi semacam itu benar-benar dibutuhkan anak?
Psikolog dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Tjipto Susana, mengatakan, akhir-akhir ini memang banyak kontes talenta yang muncul di televisi. Orangtua yang ingin anaknya populer segera mendaftarkan mereka sebagai peserta. Kondisi semacam ini tidak lepas dari berjangkitnya budaya hidup instan di masyarakat.
Menurut dia, kultur kolektif di Indonesia masih sangat kuat. Oleh karena itu, ada semacam pandangan bahwa kesuksesan anak menjadi cermin kesuksesan orangtua dan keluarga. Di tengah lingkungan yang semakin individualis, pandangan semacam itu bisa tidak mendukung perkembangan anak.
Bercita-cita menjadi idola tentu tidaklah salah. Namun, orangtua mestinya tidak memaksa anaknya menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuan dan keinginan anak. ”Anak-anak yang dipaksa seperti itu hidupnya tidak akan happy karena selamanya akan bergantung pada reward dari masyarakat yang sifatnya semu,” jelasnya.
Kontes-kontes semacam itulah yang menjadi pangkal kegelisahan pelukis Yogyakarta, Yuswantoro Adi, dan teman-temannya. Saat diminta menjadi juri dalam sebuah lomba melukis, ia mendapati karya lukis anak-anak peserta lomba yang cenderung seragam. Awalnya itu tidak terasa mengganggu. Namun karena kecenderungan semacam itu ia temui dari lomba ke lomba, ia pun menaruh curiga.
Setelah ditelusuri, ia menemukan jawabannya. Rupanya kini bermunculan sanggar lukis yang khusus mengajari anak-anak pemenang lomba. Orangtua yang ingin anaknya menjadi juara pun aktif memasukkan anaknya ke sanggar-sanggar semacam itu.
”Karya anak-anak cenderung seragam karena selama di sanggar mereka diajari untuk melukis dengan gaya tertentu yang menurut sanggar itu paling bagus. Jadi standar lukisan anak yang bagus itu ditetapkan, anak tidak ditanyai lukisan yang bagus menurut mereka itu seperti apa,” kata Yuswantoro, pekan lalu.
Buat Yus, kisah dari ajang lomba lukis itu bisa jadi hanya satu potongan kecil dari cerita besar tentang kondisi anak masa kini. Dan kenyataan itu membuatnya benar-benar khawatir. ”Memangnya nanti kalau sudah besar mereka pasti jadi pelukis? Mestinya anak-anak dibiarkan menjadi dirinya sendiri,” ucapnya.
Sutradara teater Nano Asmorodono menambahkan, fenomena yang ditemukan dalam lomba seni lukis itu juga terjadi di banyak bidang lain. Orangtua kerap mendaftarkan anak-anaknya ikut lomba dan melakukan apa pun agar anaknya menang. Orangtua memaksakan kepentingannya sendiri terhadap anak sehingga kebutuhan anak justru tidak diperhatikan.
Berangkat dari kegelisahan itulah, mereka lantas menggagas sebuah acara untuk anak. Jadilah acara itu Biennale Anak, sebuah ruang seni dan budaya khusus buat anak. Awalnya, acara khusus buat anak ini menjadi salah satu sesi dalam perhelatan seni rupa Biennale Jogja X yang berlangsung pada 11 Desember 2009-10 Januari 2010. Namun, padatnya acara selama Biennale untuk dewasa membuat sesi untuk anak akhirnya berlangsung terpisah.
Keterlibatan anak
Biennale Anak yang bertema ”Dokumenku” berlangsung pada 12-22 Januari di kompleks Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Demi anak, area TBY yang semula terkesan sangar oleh karya-karya perupa peserta Biennale untuk dewasa berubah menjadi lebih ceria dengan sentuhan karya anak-anak. Ada lukisan warna warni, gambar, grafiti, komik kolase, dan tentu saja boneka.
Semua kegiatan melibatkan anak karena acara ini memang didedikasikan untuk anak. Panitia hanya fasilitator. Sebanyak 283 anak berusia 4-18 tahun terlibat dalam acara ini. Mereka tidak hanya datang sebagai penikmat, tetapi juga pelaku. ”Ini adalah ruang bermain. Jadi tujuannya memang agar anak-anak bermain di sini,” ujar Yuswantoro.
Di ruang pameran TBY, misalnya, pengunjung bisa menyaksikan karya anak berupa lukisan, komik kolase, serta boneka. Karya-karya tersebut dihasilkan oleh anak-anak yang mengikuti pelatihan seni dua bulan sebelumnya. Salah satunya adalah Cinde Gaharu (7), yang memamerkan karyanya berupa boneka perempuan dari kertas. Karya itu juga menjadi gambar dalam spanduk berukuran besar yang dipasang di kompleks TBY. ”Saya membuat boneka karena suka sama boneka. Yang mengajari Pak Bagong (pelatih workshop boneka),” ujarnya.
Jika kurang berminat pada lukisan, mereka bisa bermain musik, menari, menyanyi, menjadi pemandu acara (MC), atau sekadar datang dan bermain. Mereka bisa menonton pertunjukan wayang kancil oleh dalang Ki Ledjar Subroto, film anak karya Garin Nugroho, serta pentas seni anak-anak. Selain itu, mereka bisa menjadi peserta pelatihan membuat celup ikat, bermain dengan clay, melukis layang-layang serta membuat boneka dari perca.
Minat
Selama berada di arena Biennale Anak, peran orangtua terbatas pada mengantar dan mengawasi anak-anak mereka. Rimon Siregar dan Rumila, misalnya, berpendapat bahwa acara semacam ini sangat positif bagi anak. Oleh karena itu, mereka tidak keberatan mengantar Joan Siregar, anak mereka yang baru duduk di kelas dua SD, ke Biennale Anak. ”Di sekolah anak saya ikut ekstra menggambar. Karyanya juga dipamerkan dalam acara ini. Asal anak memang berminat, kami pasti mendukung,” kata Rimon yang tinggal di Sleman.
Faktor minat jugalah yang membuat Beta Uliansyah rajin mengantar anaknya, Abas Uliansyah (5), setiap sore ke arena Biennale Anak. Sepanjang acara, banyak kegiatan yang dinilainya bisa mendukung pendidikan anaknya yang belajar dengan sistem homeschooling. ”Anak saya punya metode belajar yang berbeda dengan kebanyakan anak lain sehingga saya enggak tega memasukkan dia ke sekolah umum. Jadi kami harus rajin mencari kegiatan alternatif sehingga bisa mendukung proses belajarnya. Dan ternyata di sini dia sangat menikmati, mulai dari kegiatan membuat layang-layang, nonton wayang kancil, sampai main di Pasar DolDolanan,” ujarnya.
Menurut psikolog Tjipto Susana, orangtua bisa mengenali bakat anaknya dengan terlebih dahulu melupakan tren yang sedang berlaku. ”Tren membuat orangtua tidak sensitif terhadap bakat anak. Kalau orangtua sudah tidak peduli tren, baru dia bisa melihat minat anaknya dan dalam bidang apa anak itu bisa belajar dengan cepat. Sesuatu yang bisa dipelajari dengan cepat biasanya memang diminati anak. Kalau sudah ketemu, bakat itulah yang perlu dikembangkan tanpa melupakan pelajaran lainnya,” tuturnya.
Maka, biarkan anak-anak bermain. Mereka bisa bermain-main menjadi pelukis, pembuat boneka, penyanyi, penari, wali kota, apa saja....
Oleh Idha Saraswati
1 Comentário:
baik skali
Posting Komentar