Penanaman disiplin memang harus konsisten
Saya termasuk orang yang tertib dalam memberlakukan kebiasaan pada anak. Setiap pulang dari bepergian atau habis main dari luar, anak harus cuci kaki, tangan, dan muka, lalu ganti baju. Makan dan minum pun harus menggunakan piring dan gelas khusus milik mereka sendiri. Saya berharap dapat menanamkan disiplin dan kebiasaan yang baik sejak anak masih kecil.
Masalahnya, tanpa saya sadari, rutinitas tersebut ternyata malah membuat anak saya jadi enggak fleksibel. Suatu pagi, pernah saya membantu si kecil melepaskan pakaiannya sebelum mandi. Karena terburu-buru, saya lupa kalau selama ini dia terbiasa melepaskan celananya duluan baru kemudian bajunya. Nah, pagi itu, terbalik, bajunya dulu yang saya lepaskan. Jadilah dia marah-marah dan minta dipakaikan bajunya kembali. Saya sudah jelaskan, enggak apa-apa buka baju dulu baru celana, tapi dia tetap protes dan malah ngamuk. Apa boleh buat, saya terpaksa memakaikan bajunya kembali dan kemudian melepaskannya sesuai "prosedur".
Soal keramas dan mandi pun kami pernah ribut. Ia terbiasa keramas dulu baru pakai sabun. Kalau ritualnya dibalik, dia takkan mau. Pokoknya, jadi merepotkan deh! Saya sama sekali enggak nyangka kalau rutinitas yang saya tanamkan itu akhirnya malah jadi bumerang buat saya.
BERBAGAI ALASAN
Masalah ini lantas saya curahkan kepada seorang psikolog anak. Namanya, Yelia Dini Puspita, M.Psi., dari Lembaga Psikologi Terapan UI. Ternyata, menurutnya, bukan anak saya saja yang punya perilaku seperti itu. Alasannya, sebagian anak usia prasekolah mulai menguasai berbagai aktivitas tertentu yang terbentuk melalui proses pembiasaan. Sikap kaku terhadap suatu kebiasaan wajar terjadi sampai usia sekitar 4 tahun. "Kebiasaan atau ritual yang kaku itu umumnya berkaitan dengan aktivitas sehari-hari, seperti ritual makan, berpakaian, dan mandi. Namun juga bisa meluas pada kebiasaan bermain maupun mengatur benda-benda miliknya," kata Yelia.
"Mungkin karena saya terlalu tertib ya, Mbak, dalam menerapkan rutinitas itu?" tanya saya.
"Memang, penerapan disiplin dari orangtua yang bersifat kaku, bisa menjadi penyebabnya. Segala rutinitas harus dilakukan dengan prosedur tertentu, baik dalam waktu maupun cara pelaksanaannya. Hal tersebut membentuk kebiasaan yang kuat pada anak dan diadopsi olehnya sehingga menimbulkan tingkah laku ritual yang kaku pula. Tanpa disadari, anak sudah telanjur nyaman dengan tata cara yang berulang, bersifat rutin, dan dapat diprediksi. Perhatian khusus perlu diberikan jika selewat usia 4 tahun, anak masih sangat kaku pada tata cara tertentu dalam beraktivitas. Kalau dibiarkan, ia dapat berkembang menjadi pribadi yang tidak fleksibel dalam menghadapi berbagai hal," jawab Yelia.
"Ada sebab lainnya lagi tidak?" tanya saya kembali.
"Biasanya hal ini juga berkaitan dengan karakter anak. Anak-anak yang mengarah pada karakter perfeksionis, umumnya melakukan segala sesuatu sesuai dengan prosedur atau ritual dan tahapan yang relatif sama agar mendapatkan hasil yang ‘sempurna’ baginya, sehingga akhirnya terbentuklah tingkah laku ritual yang kaku pada anak."
"Mungkin enggak karena anak ingin cari perhatian ayah bundanya?"
"Mungkin sekali, karena anak sangat menikmati perhatian dari orangtuanya. Kalau yang ini mudah sekali terlihat karena terjadinya hanya di saat-saat tertentu saja. Misal, ketika ibu atau ayahnya ada waktu untuk menemaninya mandi, bermain, dan lainnya. Sebab lainnya berkaitan dengan pola pikir yang rigid atau kaku dan adanya tindakan yang bersifat repetitif atau berulang. Umumnya dialami oleh anak dengan gangguan perkembangan, semisal autisma. Tentu saja anak seperti ini perlu penanganan khusus untuk menanggulanginya."
POSITIF-NEGATIF
Sebenarnya, kata Yelia, perilaku tersebut wajar-wajar saja, selama tidak sampai menyusahkan. "Umumnya, semakin bertambah usia anak, maka keterampilan sosialnya juga akan bertambah, sehingga kebiasaan yang kaku ini semakin lama semakin berkurang dan akan menghilang dengan sendirinya tanpa intervensi khusus. Kecuali pada anak yang memang mengalami gangguan perkembangan."
Akan tetapi, lanjut Yelia, bukan berarti orangtua tak perlu membantu. "Kebiasaan kaku ini akan berangsur berkurang hanya bila tidak mendapatkan penguatan dari lingkungan. Jika orangtua justru memperkuat kebiasaan yang kaku tersebut, entah dengan membiarkan, selalu menuruti keinginan anak, maupun tidak memberikan penjelasan pada si anak, maka kebiasaan kaku tersebut akan tampil lebih kuat."
Kerugiannya, sikap kaku yang berlebihan tanpa disertai fleksibilitas akan menyulitkan anak dalam beradaptasi dengan hal-hal baru. Hal ini juga menghambatnya dalam berinteraksi sosial dengan orang lain. Namun, bukan berarti menanamkan kebiasaan secara teratur itu salah. Buah positifnya juga ada. Antara lain, anak dapat mengembangkan disiplin dan keteraturan dalam bertindak, serta terbiasa melakukan perencanaan. Lebih jauh lagi, anak dapat melakukan antisipasi terhadap hal-hal yang mungkin akan terjadi. Karenanya, orangtua pandai-pandailah mengatur ritme penerapan aturan dan bersikap fleksibel di saat-saat darurat.
VARIASI, DONG...
"Kalau sudah telanjur, apa yang harus dilakukan, Mbak?" tanya saya segera.
"Orangtua harus peka terhadap kebutuhan dan karakter anaknya, ini yang pertama. Peka terhadap kebutuhan, antara lain dengan mengenali alasan yang menyebabkan anak melakukan tindakan tersebut. Orangtua harus berusaha untuk memahami karakter dan pola tingkah laku anak, serta proses pembiasaan yang terjadi. Kemudian berusaha berempati dan tidak memaksanya mengubah kebiasaan. Dukungan serta sikap yang konsisten lebih diperlukan anak agar merasa lebih aman, sehingga dapat membentuk rasa percaya diri dan pada akhirnya tindakan ritual tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kalau memang karakternya perfeksionis, maka anak perlu dipersiapkan dalam menghadapi segala aktivitasnya, terutama yang di luar kebiasaan. Beritahukan atau jelaskan terlebih dahulu apa yang akan terjadi atau dilakukan oleh si anak di luar dari kebiasaannya itu," kata Yelia.
Sebetulnya, anak-anak yang memang mudah menyesuaikan diri biasanya tak terlalu terganggu bila melakukan rutinitas di luar jalurnya. Dalam kondisi terburu-buru, tak masalah jika handuknya dipakai terbalik, atau jika dibantu dipakaikan sepatunya sebelah kiri dulu padahal biasanya kanan. "Anak seperti ini dapat dengan cepat mengatasinya. Bahkan, beberapa anak justru merasa senang dan tertarik menghadapi ‘hal baru’ tersebut," lanjut Yelia.
"Namun fleksibel bukan berarti berubah-ubah, lo. Fleksibel adalah kemampuan beradaptasi secara cepat terhadap perubahan yang terjadi," tambahnya segera. "Bagaimanapun, dalam menerapkan disiplin, orangtua harus tetap konsisten. Kalau tidak konsisten atau berubah-ubah justru dapat menimbulkan kebingungan dan membuat anak merasa tidak nyaman. Hanya saja dalam pembiasaan yang konsisten tersebut selipkan juga variasi ritual yang dapat orangtua berikan dalam momen-momen tertentu. Sesekali, ajaklah anak makan sambil piknik di halaman. Tapi kalau anak tidak mau, ya jangan dipaksa. Biarkan saja dia tetap melakukan ritualnya sambil diberikan penjelasan mengenai variasi ritual yang bisa ia lakukan. Selain itu, orangtua juga perlu introspeksi akan sikapnya selama ini apakah dalam penerapan disiplin bersifat kaku ataukah cukup fleksibel."
Sedangkan bila penyebabnya adalah si anak cari perhatian, menurut Yelia, kembali lagi orangtua perlu peka terhadap kebutuhan anak. Selain juga perlu ditelaah apakah cari perhatian tersebut mengarah pada kurangnya kebersamaan dengan anak, atau merupakan aksi protes anak terhadap penerapan disiplin yang dilakukan orangtua. Ada baiknya orangtua melakukan introspeksi, kemudian memperbaiki diri serta memberikan perhatian sesuai dengan kebutuhan anaknya.
Kini saya bisa bernapas lega. Setidaknya, saya jadi paham, mengapa buah hati saya sampai "sekaku" itu. Tentu saja saya juga harus berubah kalau tidak ingin si kecil kelak benar-benar menjadi pribadi yang kaku.
Dedeh Kurniasih.
Seja o primeiro a comentar
Posting Komentar